WahanaNews.co | Presiden Joko Widodo mengaku terkejut mendapati fakta banyak negara yang tergantung ke Indonesia. Hal itu diketahui saat Indonesia melarang ekspor batu bara beberapa waktu lalu. Baru 2 minggu ekspor dihentikan, banyak negara yang langsung menghubungi dirinya.
"Begitu batu bara kita stop dua minggu saja, yang telepon ke saya banyak sekali kepala negara, perdana menteri, presiden," kata Jokowi di acara Kompas 100 CEO Forum 2022 di Istana Negara, Jakarta, Jumat (2/12).
Baca Juga:
Imbas Hilirisasi, Bahlil Sebut 54 Persen Warga Morowali Kena Asma
"Oh ini tergantung, tergantung, tergantung, kok banyak sekali. Saya kaget juga," sambungnya.
Berdasarkan data Trade Map tahun 2021, China, India, Amerika Serikat hingga Uni Eropa memiliki ketergantungan terhadap produk-produk komoditas unggulan Indonesia.
Sepanjang tahun 2021, ketergantungan China terhadap produk batubara Indonesia mencapai USD 22,7 miliar. Impor produk bijih besi China dari Indonesia juga mencapai USD 13,1 miliar.
Baca Juga:
Dukung Hilirisasi, PLN Siapkan Listrik Andal Untuk Smelter Freeport yang Baru Diresmikan Presiden Jokowi
Selain itu, China juga mengimpor CPO senilai USD 6,7 miliar, tembaga senilai USD 972 juta dan produk nikel sebesar USD 240,3 juta.
Begitu juga dengan India yang sangat bergantung pada produk batubara, CPO, karet dan Timah asal Indonesia. Masing-masing nilai impor India dari Tanah Air yakni USD 6,3 miliar (batu bara), USD 4 miliar (CPO), USD 323 juta (karet) dan USD 247 juta (timah).
Sementara itu produk Indonesia yang menjadi andalan Amerika Serikat yakni produk karet, CPO, produk perikanan dan produk kayu. Negeri Paman Sam ini tahun 2021 mengimpor produk karet senilai USD 2,4 miliar, CPO sebesar USD 2,1 miliar, produk perikanan USD 1,4 juta dan USD 1 miliar produk kayu.
Tanpa Batu Bara Indonesia, China dan India Bisa Gelap Gulita
Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyatakan ketergantungan 3 negara tersebut kepada Indonesia sangat besar. Mereka membutuhkan produk unggulan nasional untuk menggerakkan industri pengolahannya.
Bila Indonesia mengeluarkan kebijakan moratorium atau menghentikan ekspor produk-produk tersebut, maka ketiga negara itu bisa kelabakan.
"Jika Indonesia stop melakukan ekspor, industri pengolahan di tiga negara bisa berhenti total," kata Bhima kepada merdeka.com, Jakarta, Sabtu (3/12).
Bahkan jika ekspor batu bara dihentikan Indonesia, China dan India bisa gelap. Sebab pembangkit listrik mereka membutuhkan batubara sebagai penghasil listriknya.
"Untuk pasokan listrik di India dan China yang masih andalkan batubara akan blackout alias padam," ungkap Bhima.
Kondisi serupa juga bisa dialami Uni Eropa. Masih dari sumber yang sama, Uni Eropa memiliki ketergantungan yang sama dengan Indonesia. "Apalagi Eropa yang sekarang sedang krisis energi," kata Bhima.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor migas Indonesia pada September 2022 ke Eropa Barat senilai USD 61,1 juta. Sedangkan ekspor non migasnya untuk Eropa Barat senilai USD 1,68 miliar dan ke Eropa Timur senilai USD 430 miliar.
Sementara itu berdasarkan data Trade Map di tahun 2021, Uni Eropa mengimpor CPO senilai USD 2,5 miliar. Mereka juga mengimpor produk karet Indonesia hingga USD 1 miliar.
Selain itu, Uni Eropa juga mengimpor produk besi dan baja senilai USD 477 juta, produk kayu olahan senilai USD 414 juta, dan timah senilai USD 173 juta.
Jangan Terlena Manisnya Cuan Ekspor Komoditas
Meski begitu, Bhima mengingatkan agar pemerintah tidak terlena dengan manisnya keuntungan dari ekspor komoditas. Alasannya, harga komoditas sulit untuk diprediksi.
"Begitu harga komoditas turun, devisa dan surplus perdagangan langsung anjlok," kata dia.
Sehingga, langkah yang perlu diambil pemerintah yakni melakukan hilirisasi. Mengolah produk-produk unggulan tersebut menjadi bahan setengah jadi agar menghasilkan nilai tambah.
"Kita harus masuk ke hilirisasi, pengolahan barang jadi yang punya ilai tambah, sehingga diperhitungkan di tingkat internasional," pungkasnya.[sdy]