WahanaNews.co | Gempa bumi dengan magnitudo 5,6 yang melanda Cianjur, Jawa Barat beberapa waktu lalu menjadi tamparan keras bagi pemangku kepentingan di bidang infrastruktur.
Pasalnya, ada banyak bangunan, akses jalan, hingga jembatan yang runtuh akibat goncangan gempa tersebut. Berdasarkan data terakhir, sebanyak 11.000 bangunan mengalami rusak berat, 11.000 rusak sedang, dan 22.000 rusak ringan.
Baca Juga:
Gempa M 6,4 Guncang Gorontalo Dini Hari, BMKG: Tak Ada Ancaman Tsunami
Dalam hal ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) meluncurkan panduan yakni Buku Peta Deagregasi Gempa Indonesia untuk Perencanaan dan Evaluasi Infrastruktur Gempa.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PUPR, Zainal Fatah, mengatakan panduan tersebut untuk memberikan kesadaran akan kebutuhan ketersediaan standar terbaru untuk gedung, jembatan, bendungan dan bangunan lepas pantai yang tahan gempa.
"Teknologi konstruksi dan ilmu pengetahuan bidang kegempaan perlu diikuti dengan penyesuaian metode perencanaan struktur yang jelas dan akurat, hal ini menuntut kita mengembangkan standar untuk mengatur keamanan infrastruktur ketahanan gempa," kata Zainal mewakili Menteri Basuki, Selasa (29/11/2022).
Baca Juga:
52 Gempa Bumi Guncang Maluku, BMKG Ungkap Pentingnya Mitigasi
Pihaknya memastikan buku ini menjadi panduan untuk dapat diterapkan di berbagai infrastruktur bangunan tahan gempa sebagai bentuk aksi pencegahan dan mitigasi terukur dan terikini.
Adapun, buku tersebut memiliki 114 peta deagregasi bahaya gempa yang dapat menunjukkan potensi gempa di suatu wilayah. Perhitungan potensi dilihat dari riwayat kegempaan di daerah tersebut.
Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia, Asrurifak, yang merupakan Ketua Tim Penyusun Buku Peta Deagredasi mengatakan lewat peta tersebut nantinya suatu pembangunan dapat menerapkan karakteristik bahan bangunan dengan ketahanan gempa yang sesuai dengan potensi di wilayah tertentu.
"Ini kita sudah mulai supaya masyarakat bisa melihat 'Oh kalau kita tinggal disini itu kira-kira gempa apa yang dominan terjadi?', nah sehingga karakter-karakter [bangunan] nya seperti apa, itu bisa dilihat dari situ," jelasnya.
Tak hanya untuk perencanaan, peta deagregasi juga digunakan untuk evaluasi berulang dengan periode beragam mulai dari 100 tahun, 500 tahun, hingga 10.000 tahun.
Dia mencontohkan, untuk bangunan bendungan yang tidak boleh rusak sama sekali bahkan dalam kondisi gempa yang kuat. Sebab, dampaknya akan luar biasa besar jika terjadi kerusakan di infrastruktur tersebut.
Evaluasi juga dilakukan kepada bangunan monumental untuk mengetahui ketahanan gempa di sekitar lokasi tersebut. Dengan mengetahui potensi gempa, maka dapat dilakukan pembaruan agar bangunan kokoh dari goncangan. [ast]