WahanaNews.co | Perbedaan antara aparat negara, masyarakat, dan pelaku usaha dalam menakar keterbukaan informasi menjadi gambaran persoalan riil dari kualitas keterbukaan informasi publik di negeri ini.
Menyusul berbagai indeks lainnya yang mencoba memotret wajah kekinian Indonesia dari berbagai dimensi persoalan, Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) 2021 baru saja dipublikasikan.
Baca Juga:
Judi Online dan Pinjol Ilegal ‘Adik Kakak’, Menkominfo: Harus Disikat
Komisi Informasi Publik, sebagai pembuat indeks, menyatakan bahwa kondisi keterbukaan informasi publik di negeri ini masuk kategori ”sedang”.
Dalam besaran skor, indeks yang menjadikan 312 informan ahli keterbukaan informasi dari 34 provinsi dan 17 informan ahli nasional sebagai penilai (expert judgement) itu dinyatakan sebesar 71,37.
Skor sebesar itu dibangun dari tiga dimensi pengukuran, yaitu penilaian terhadap kondisi fisik dan politik dari keterbukaan informasi, penilaian sisi ekonomi keterbukaan informasi, dan penilaian sisi hukum keterbukaan informasi.
Baca Juga:
Kemenkominfo Telah Blokir Hampir 3 Juta Konten Judi Online
Semua skor penilaian dari ketiga dimensi pengukuran tersebut, sekalipun tergolong beragam besarannya, masih termasuk kategori ”sedang”.
Dimensi hukum pada keterbukaan informasi tampak paling tinggi.
Rata-rata, dari enam indikator pengukuran hukum yang dibangun, skor indeksnya sebesar 73,74.
Jika ditelusuri, indikator ”kondisi jaminan hukum atas akses terhadap informasi publik” paling tinggi berkontribusi (skor 79,15).
Sebaliknya, indikator ”kepatuhan dalam menjalankan undang-undang keterbukaan informasi publik” menjadi yang paling rendah (skor 71,33).
Kondisi demikian setidaknya mencerminkan bahwa di negeri ini, ketersediaan produk hukum dan aturan yang telah menjaminkan ruang kebebasan akses terhadap informasi masih berjarak dengan kepatuhan menjalankannya.
Menyusul hukum, pada dimensi fisik dan politik (skor 69,65) dijumpai juga variasi nilai pengukuran.
Indikator tertinggi yang tergambarkan terjadi pada ”kebebasan mencari informasi tanpa rasa takut” (skor 75,85).
Pandangan di setiap provinsi yang dikaji menunjukkan bahwa kebebasan ataupun keterbukaan informasi sudah dirasakan.
Namun, sebaliknya, indikator ”partisipasi publik” dan ”literasi publik atas hak keterbukaan informasi” terendah.
Tampak jelas, jarak perbedaan antara kebebasan yang telah terbangun dan lemahnya keterlibatan serta pemahaman masyarakat terhadap hak keterbukaan informasi menjadi problem menyeluruh di negeri ini.
Dari ketiga dimensi pengukuran, sisi problematik lebih banyak tampak pada dimensi ekonomi keterbukaan informasi publik.
Keseluruhan penilaian skor dimensi paling rendah pada dimensi ini (skor 67,99).
Kendati dalam pengategorian masih tergolong berkualitas ”sedang”, indikator-indikator pembentuknya, seperti ”transparansi” dan ”dukungan anggaran dalam pengelolaan informasi”, menjadi persoalan yang paling banyak dikeluhkan.
Bahkan, dari 20 indikator yang menjadi acuan indeks, kedua indikator itu menjadi yang paling rendah nilainya.
Seperti juga hasil indeks-indeks lainnya, kualitas keterbukaan informasi publik ini juga menggambarkan wajah disparitas antardaerah.
Rentang perbedaan capaian tertinggi dan terendah terpaut cukup lebar.
Terdapat provinsi yang skor capaiannya memprihatinkan.
Umumnya, kawasan timur Indonesia perlu perhatian.
Papua Barat dan Sulawesi Tengah menjadi yang yang terbawah (kategori ”buruk”).
Akan tetapi, cukup mengejutkan pula jika kualitas keterbukaan informasi tidak hanya menjadi milik wilayah yang lekat dengan kekuasaan negara.
DKI Jakarta, beserta beberapa provinsi di Pulau Jawa (kecuali Jawa Barat), tidak berada di papan atas indeks.
Provinsi yang menempati posisi puncak secara berurut diduduki Bali dan Kalimantan Barat.
Kedua provinsi inilah yang masuk kategori ”baik”.
Jika dicermati, problem menonjol kualitas keterbukaan informasi publik yang terekam dalam indeks ini terkait dengan adanya perbedaan pandangan yang memilah latar belakang penilai di setiap provinsi.
Bagi mereka yang berkaitan langsung dengan penyedia layanan informasi publik (badan publik negara) menyatakan bahwa kualitas keterbukaan informasi publik yang mereka rasakan sudah tergolong ”baik”.
Dalam rentang skor penilaian, umumnya di atas 80 dan tidak jarang memberikan nilai maksimal.
Namun, bagi kelompok informan ahli masyarakat, yang selama ini banyak bersinggungan dengan pemanfaatan layanan informasi publik, tidak menilai setinggi itu.
Bahkan, bagi para informan ahli yang berasal dari pelaku usaha, menilai lebih rendah lagi. Tidak jarang pula, kategori ”buruk” dinyatakan.
Dalam praktik, tegangan semacam itu menjadi wajah keseharian pemproduksian, layanan, dan pemanfaatan informasi publik.
Para aparatur negara yang bernaung dalam badan publik, seperti kementerian, pemerintahan provinsi, BUMN, perguruan tinggi, sedemikian rupa menyatakan bahwa peran sebagai penyedia informasi sebagaimana yang telah teramanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah baik dilakukan.
Termasuk dalam memperlakukan berbagai informasi yang tergolong dalam pengecualian.
Hanya saja, tidak selalu selaras dengan penilaian masyarakat.
Umumnya memandang bahwa ketidakjelasan batas-batas kategori informasi publik dan sisi birokratis layanan informasi menjadi penghambat.
Hak-hak masyarakat yang dijaminkan undang-undang, seperti hak untuk mengetahui (right to know), hak untuk melihat dan memeriksa (right to inspect), hak untuk mendapatkan salinan dokumen atau hak akses aktif (right to obtain the copy), hak untuk diinformasikan atau hak akses pasif (right to be informed), dan hak untuk menyebarkan luaskan informasi (right to disseminate), terhambat.
Bagi para pelaku usaha, ketidakjelasan ataupun ketertutupan distribusi informasi publik yang potensial bernilai ekonomi menjadi problem terbesar.
Hak setiap orang dalam permintaan informasi publik tanpa perlu disertai alasan ataupun akses maksimal dengan pengecualian terbatas (maximum access and limited exemption) dalam praktik kerap diperdebatkan.
Tidak jarang, tegangan di antara badan publik negara dengan masyarakat dan pelaku usaha ini berujung pada sengketa informasi pada sebagian besar provinsi di negeri ini.
Merujuk tahun 2018 lalu, Komisi Informasi Pusat menyelesaikan 1.280 kasus sengketa informasi.
Jarak perbedaan yang terbangun dalam menilai kondisi keterbukaan informasi publik di setiap daerah ini menjadi potret persoalan otentik dari relasi negara, masyarakat, termasuk di dalamnya pelaku usaha.
Kondisi semacam ini pula yang menjadi celah pemilah antara negara, masyarakat, dan pelaku usaha.
Problem keterbukaan informasi yang terungkap dalam indeks menjadi persoalan krusial yang perlu dibenahi.
Pasalnya, dimensi kebebasan dan keterbukaan, termasuk keterbukaan informasi, menjadi salah satu syarat yang menunjang kualitas demokrasi dan kesejahteraan di negeri ini.
Proposisi konklusi yang diyakini selama ini, jika semakin luas ruang keterbukaan yang terbentuk, semakin tinggi pula kualitas demokrasi ataupun kesejahteraan masyarakat, tampaknya mendapat legitimasi pembenaran.
Setidaknya, bercermin pada hasil indeks ini, terdapat relasi positif dan searah antara besaran capaian provinsi dan capaian indeks demokrasinya.
Kecenderungan semakin tinggi besaran indeks keterbukaan informasi yang dicapai setiap provinsi, semakin tinggi pula capaian indeks demokrasinya.
Sejalan dengan kondisi tersebut, terjadi pula relasi yang sama antara indeks keterbukaan informasi dan indeks pembangunan manusia, yang kerap dimaknai sebagai capaian kesejahteraan masyarakat di setiap provinsi.
Gambaran semacam ini semakin menegaskan urgensi pembenahan celah persoalan informasi publik. [dhn]
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul “Keterbukaan Informasi Celah Pemilah Negara, Masyarakat, dan Pelaku Usaha”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/riset/2021/09/22/keterbukaan-informasi-celah-pemilah-negara-masyarakat-dan-pelaku-usaha/.