WahanaNews.co, Jakarta - Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, kembali merilis buku terbaru ke-32 berjudul 'Konstitusi Butuh Pintu Darurat: Urgensi Memulihkan Wewenang Subjektif Superlatif MPR RI'.
Dalam buku ini, Bamsoet mengulas tentang UUD NRI 1945 pasca reformasi tanpa pintu darurat jika terjadi dispute atau kebuntuan konstitusi dan kebuntuan politik.
Baca Juga:
MPR Cabut Nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998
Bamsoet mengingatkan pentingnya Indonesia memiliki pintu darurat dalam UUD 1945 dan protokol kedaruratan ketika terjadi kekosongan kekuasaan akibat pemilu tidak dapat diselesaikan secara tepat waktu akibat terjadinya 'kerusuhan' atau sangketa hukum yang berkepanjangan.
Dalam pandangan Bamsoet, sangat penting bagi MPR memiliki kembali wewenang subjektif superlatif. Dengan wewenang ini, MPR RI memiliki kuasa membuat, menerbitkan dan memberlakukan Ketetapan (Tap) MPR yang bersifat mengikat (regeling).
Tap MPR yang bersifat mengikat itu menjadi solusi manakala negara-bangsa dihadapkan pada berbagai kebuntuan, seperti kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik, dan bahkan kebuntuan hukum.
Baca Juga:
Terima Ketum dan Pengurus PWI Pusat, Ketua MPR Dorong Peningkatan Kompetensi dan Profesionalitas Wartawan
Lebih jauh lagi menurut Bamsoet, ternyata kita sampai saat ini belum memiliki ketentuan hukum yang mengatur tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan hasil pemilu tidak tepat waktu. Yakni, sebelum 1 Oktober untuk Pileg (DPR dan DPD), dan 20 Oktober untuk Pilpres.
Di masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai Ketetapan yang bersifat pengaturan atau regeling untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi.
jika sekiranya terjadi keadaan-keadaan yang membuat kesinambungan kepemimpinan bangsa dan negara terhenti, baik karena pelaksanaan pemilu yang tidak selesai maupun adanya bencana alam, adanya pandemi, adanya pemberontakan dan kerusuhan atau krisis keuangan, maka keadaan-keadaan demikian mungkin saja dapat diatasi oleh presiden dan wakil presiden dengan menyatakan negara dalam keadaan bahaya, sebagaimana diatur dalam pasal 12 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.