WahanaNews.co, Jakarta - Achmad Risaldi Saut, atau nama populernya DJ East Blake, diciduk polisi atas dugaan penyebaran konten pornografi mantan kekasihnya, ARP. Diduga, tindakan ini dilakukan karena East Blake kesal setelah diputuskan.
"Pelaku merasa kesal terhadap korban karena korban tidak mau berkomunikasi dan memutuskan hubungan," ungkap Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Gidion Arif Setyawan, Kamis (2/5/2024).
Baca Juga:
Kasus Dokter Lecehkan Istri Pasien Berakhir dengan Penyerahan Uang Damai Rp 350 Juta
Penangkapan East Blake didasari laporan yang diajukan ARP ke kepolisian pada April 2024.
Menanggapi kasus ini, pemerhati masalah hukum dari Universitas Padjdjaaran Irma Siahaan mengungkapkan bahwa transformasi digital yang didambakan banyak orang memang menghasilkan kemudahan akses informasi dan komunikasi, tetapi juga diikuti potensi aksi kriminal.
“Ini jadi berkah sekaligus musibah. Di balik kecanggihan teknologi, tersembunyi bahaya kekerasan berbasis gender online atau KBGO. Inilah ancaman mengerikan yang mengintai di ruang maya,” ucapnya, Selasa (4/6/2024).
Baca Juga:
Kasus Persetubuhan Anak di Parimo, Kompolnas Dorong Penyidik Terapkan UU TPKS
Menurut Irma, KBGO adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang dilakukan dan diperparah sebagian atau seluruhnya dengan teknologi informasi dan komunikasi.
“Kasus yang tergolong KBGO meliputi penyebaran konten pribadi tanpa kesepakatan, pelecehan seksual, doxing, pelanggaran privasi, dan impersonasi,” sebutnya.
Menurut Irma, meroketnya kasus KBGO di Tanah Air beberapa tahun belakangan ini menandakan lemahnya kinerja hukum, yang ditandai dengan kurangnya ahli yang mumpuni, minimnya teknologi forensik digital, dan belum memadainya pemahaman aparat penegak hukum.
“Ditambah lagi, stigma dan minimnya kesadaran publik terhadap KBGO membuat korban enggan melapor dan kesulitan mendapat dukungan,” sebutnya.
Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan tahun 2020 mengungkapkan adanya peningkatan jumlah KBGO. Tahun 2018, Komnas Perempuan menyebutkan terdapat 97 kasus KBGO, dan tahun 2019 meningkat jadi 281 kasus. Lalu di tahun 2020 meningkat jadi 940.
Sedangkan dalam kurun waktu Mei 2022-Desember 2023, Komnas Perempuan menerima 4.179 laporan, terbanyak kasus KBGO, yang mencapai 2.776 kasus.
Kemudian LBH Apik melaporkan bahwa dari sejumlah 489 kasus KBGO, hanya 25 kasus yang bisa dilaporkan ke kepolisian, dan cuma 2 kasus dapat masuk ke dalam proses peradilan.
KSBE VS KBGO
Disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022 bagaikan angin segar bagi penanganan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). UU ini, dengan Pasal 14 yang secara khusus mengatur tentang Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), jadi langkah maju dalam memerangi kejahatan di era digital.
Namun, perlu dicatat bahwa KSBE tidak sama persis dengan KBGO. Meski memiliki beberapa kesamaan, terdapat perbedaan signifikan di antara keduanya. Hal ini ditegaskan KRT Tohom Purba, advokat yang juga Ketua Umum Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum Pemuda Pancasila.
“Perbedaan utama antara KBSE dalam UU TPKS dan KBGO terletak pada fokus dan spesifikasi, perlindungan korban, serta penegakan hukum. KBSE dalam UU TPKS lebih spesifik dan fokus pada kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan prosedur penanganan dan perlindungan korban yang jelas,” bebernya, Selasa (4/6/2024).
Sementara itu, lanjutnya, KBGO mencakup berbagai bentuk kekerasan berbasis gender di dunia maya, tetapi sering kali tidak memiliki kerangka hukum yang spesifik dan komprehensif.
Dalam hal perlindungan korban, UU TPKS memberikan perlindungan dan dukungan yang lebih terstruktur bagi korban KBSE. Sebaliknya, korban KBGO sering kali menghadapi kesulitan dalam mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
“Penegakan hukum untuk KBSE dalam UU TPKS lebih tegas dan terarah dibandingkan dengan KBGO yang menggunakan UU ITE, yang tidak dirancang khusus untuk menangani kekerasan berbasis gender,” jelasnya.
Tohom menyebutkan, meskipun KSBE dan KBGO sama-sama memanfaatkan teknologi untuk melancarkan aksinya, tetapi perbedaan definisi, kategori, dan penanganan hukumnya menjadikannya dua entitas yang berbeda.
“Intinya sih, masih banyak hal yang harus dilakukan untuk memastikan efektivitas UU TPKS dalam memerangi KBGO. Juga perlu upaya berkelanjutan dari banyak elemen untuk meningkatkan pemahaman tentang KBGO maupun KSBE, mendorong pelaporan, dan memastikan penegakan hukum yang adil dan berpihak pada korban,” ungkap Tohom.
Platform Crowdsourcing
Tohom mengakui, masih terdapat sejumlah kendala dalam penegakan hukum kasus KBGO, antara lain keterbatasan pemahaman aparat hukum terkait KBGO, kurangnya bukti digital yang mendukung laporan korban, serta stigma dan ketakutan korban untuk melapor.
“Hakim cenderung memilih menggunakan UU ITE dalam kasus KBGO ketimbang UU TPKS, karena sebagai undang-undang baru, proses implementasinya masih sulit. Selain itu, UU ITE memiliki sanksi lebih berat dibandingkan UU TPKS,” beber Tohom.
Sementara itu, praktisi IT Ghivarra Senandika Rushdie menyarankan, selain melakukan sosialisasi UU TPKS secara masif, kampanye edukasi dan kesadaran publik dapat diperluas melalui platform crowdsourcing.
Crowdsourcing adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengumpulkan banyak orang guna mencapai atau melakukan sesuatu.
“Membernya bakal diminta melakukan aktivitas online, seperti membagikan informasi hasil penelitian atau lainnya yang relevan, berdiskusi di forum digital, berbagi cerita, atau mengumpulkan tanda tangan untuk mendukung pemberantasan KBGO,” ungkapnya.
Ghivarra menyakini crowdsourcing bisa memainkan peran penting dalam melibas KBGO.
“Kita keroyok bareng-bareng,” selorohnya.
Melalui platform crowdsourcing, sambung Ghivarra, informasi terkait KBGO dapat dikumpulkan, dianalisis, dan dibagikan dengan cepat, sehingga membantu meningkatkan kesadaran dan respons terhadap kasus-kasus tersebut.
Misalnya, korban atau saksi KBGO dapat melaporkan insiden secara anonim melalui platform khusus, dan data tersebut dapat digunakan untuk memetakan tren dan pola kekerasan serta mengidentifikasi pelaku yang berulang.
“Crowdsourcing ini bisa digunakan untuk mengembangkan alat dan teknologi baru yang bisa membantu mendeteksi dan mencegah KBGO. Para ahli teknologi, peneliti, dan pengembang perangkat lunak dapat bekerja sama untuk menciptakan algoritma dan aplikasi yang dapat mengidentifikasi konten yang berpotensi merugikan atau melacak aktivitas mencurigakan di platform online,” bebernya.
Menurut Ghivarra, dengan memanfaatkan pengetahuan kolektif dan sumber daya dari banyak orang, crowdsourcing dapat memperkuat upaya penegakan hukum dan kebijakan, serta mendorong tindakan kolektif untuk menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan bebas dari kekerasan berbasis gender.
“Contoh platform yang sudah menunjukkan dampak positif adalah Change.org, yang digunakan untuk menggalang dukungan publik melalui petisi online, dan U-Report, perangkat milik UNICEF untuk mengumpulkan opini dan data dari kaum muda tentang berbagai isu, termasuk KBGO,” ungkapnya.
Di Indonesia sendiri, lanjutnya, terdapat sejumlah 'tunas' yang bisa bermetamorfosis jadi platform crowdsourcing yang efektif, meskipun masih memerlukan banyak penyempurnaan, seperti penambahan fitur instrumen pelacak informasi artificial intelligence atau ruang diskusi interaktif.
[Redaktur: Zahara Tio]