WahanaNews.co | Ketika daya ingat
masih amat kuat, maka usia pun akhirnya hanyalah sebuah angka.
Begitulah sosok Kapten CPM (Purn) Sanjoto, anggota Legiun Veteran
Republik Indonesia (LVRI) di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Baca Juga:
9 Hari Operasi Aman Candi 2025, Polda Jateng Tangkap 290 Preman
Kendati usianya sudah menginjak 90 tahun,
namun ingatan Kapten Sanjoto belumlah pudar saat menceritakan pengalaman dirinya terlibat langsung memburu pentolan Partai Komunis
Indonesia (PKI), DN Aidit, yang dianggap paling
bertanggung jawab atas peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S/PKI.
Sanjoto mengungkapkan detik-detik
penggerebekan terhadap DN Aidit dan gerombolannya saat singgah di Kota
Semarang, seminggu setelah peristiwa G30S/PKI di tahun
1965.
"Sebuah rumah di Jalan Belimbing Raya
Nomor 34, Peterongan, Semarang, diketahui menjadi tempat singgah DN Aidit dan gerombolannya,"
ungkap Sanjoto, mengawali ceritanya kepada wartawan.
Baca Juga:
Modus Wartawan Gadungan asal Bekasi, Peras Pejabat Ngamar di Hotel sampai ke Jateng
Sanjoto, yang saat
itu masih berpangkat Peltu, menuturkan, satu minggu setelah
peristiwa G30S/PKI, dirinya mendapat pemberitahuan dari Pusat dan Panglima bahwa yang mengendalikan peristiwa berdarah tersebut adalah PKI.
"Atas perintah Panglima (Kodam IV/Diponegoro saat itu) sama komandan saya (Kolonel
Sumaedi), regu saya dan
pimpinan saya diperintahkan mampir ke Kodim Semarang. Namun, saat itu, Komandan Kodim yang baru tak ada. Yang ada kepala stafnya, namanya Mayor Riyadi," ungkapnya.
"Loh, ada apa Pak, saya itu diperintahkan sama komandan
saya, mencari rumah di Peterongan yang digunakan transit DN Aidit cs
dari Jakarta. Wah, kebetulan itu depan rumah saya, banyak kendaraan. Saya lari ke sini sama Pak Wiradi
(almarhum), di situ bendera-bendera PKI itu banyak. Dari sejumlah tetangga
bilang, kalau 2 jam lalu sudah berangkat (melarikan diri). Waduh, ketinggalan!" beber Sanjoto, yang saat itu bertugas sebagai anggota Intel Pomdam.
Ketika DN Aidit singgah di rumah Jalan
Belimbing itu, Sanjoto mengaku telah mempersenjatai diri, menjaga segala kemungkinan jika ada
perlawanan dari komplotan PKI.
"Waktu Aidit transit, saya dengan
senjata lengkap, bawa 2 senjata, salah satunya pistol. Saat perburuan
waktu itu, saya bersama dengan 2 anggota Kodim dan 3
anggota CPM," sebutnya.
Ia menambahkan, ketika itu dirinya
secara kebetulan telah membaca keadaan di dalam ruangan.
Ternyata, rombongan
DNA (DN Aidit) pergi ke arah timur (Solo).
"Lantas, saya
telepon sama komandan, saya laporan bahwa 2 jam yang lalu sudah tak ada, lari
ke timur. Di Solo, komandan saya telepon Dandenpom Solo, dijawab sudah diberondong (tertangkap di Solo)," tutur kakek yang
lahir pada 17 November 1930 ini.
Kini, rumah yang sempat menjadi
persinggahan gembong PKI itu ditempati Sanjoto bersama istri dan keluarganya.
Menurut pengakuannya, Sanjoto
menempati rumah di Jalan Belimbing Raya Nomor 34, Peterongan, itu sejak
tahun 1969.
Namun demikian, saat itu rumah dalam
kondisi kosong dan sempat disita negara.
Seiring berjalannya waktu, rumah
tersebut kembali bisa ditempati Sanjoto, setelah
pemerintah mengetahui jika dirinya merupakan pejuang veteran kemerdekaan RI.
Untuk diketahui, Kapten Sanjoto juga
pernah terlibat dalam Dwikora, mengawal Jenderal Ahmad Yani di
Singkawang, Kalimantan Barat.
Dia adalah prajurit Corps Polisi
Militer (CPM) yang ikut serta mengamankan dan mengawal Jenderal Ahmad Yani serta sejumlah perwira tinggi lainnya dalam persiapan konfrontasi
dengan Malaysia.
Sanjoto juga berkisah bahwa ia sudah ikut berperang di usia 12 tahun. Ia bergabung dengan organisasi
kepemudaan atau Angkatan Muda Surakarta.
"Saat itu, saya ikut
mengusir penjajah Jepang. Pokoknya ikut saja, dan tidak
pernah takut mati, terutama saat mendapatkan senjata bekas Kempetai atau Polisi Militer Jepang. Saya membawa senjata Arisaka dan pistol Nambu buatan Jepang. Ke mana-mana, bersama
pemuda lainnya, saya bawa senjata itu," beber dia.
Barulah, setelah
merdeka, Sanjoto masuk dalam barisan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI.
Dia mendapat pangkat Letnan Muda,
meski tak pernah menyandang pangkatnya di pundak maupun lengan bajunya.
Bertugas sebagai pasukan pengawal,
Sanjoto pernah mendapatkan perintah mengawal dan menyeberangkan Panglima Besar
Jenderal Soedirman saat bergerilya di wilayah Wonogiri hingga masuk Jawa Timur.
Gerilya dengan keluar-masuk hutan
dilakukan bertahun-tahun saat pendudukan Belanda.
Dia memimpin pasukan, hingga pernah melakukan peledakan bom di jalan yang dilintasi
konvoi panser Belanda.
Sanjoto kemudian masuk dalam barisan
Corps Polisi Militer dengan pangkat Sersan Satu.
"Berulang kali saya melakukan
pengawalan, sampai pada Jenderal Ahmad Yani. Saat membentuk Batalyon Banteng
Raiders di Bulakamba, Tegal, pun saya ikut
terlibat pengawalan. Sampai kedatangan Bung Karno, saya juga
yang mengawalnya," ceritanya.
Sementara itu, terkait kondisi rumah
saat itu, ungkap Sanjoto, memang rusak parah.
Di dinding terdapat peta yang
ditujukan bagi pengikut petinggi PKI, DN Aidit, untuk
kabur.
"Setelah itu, saya kan tinggal di
hotel. Karena saya perwira, jadi tinggal di hotel. Komandan saya kemudian
memberikan rumah itu kepada saya. Rumahnya rusak parah, kemudian saya perbaiki
dan tempati sejak tahun 1969," ujarnya.
Namun, bangunan
rumah bertembok itu, bertahun-tahun sejak ditempati masih
tampak sering bocor saat hujan datang. Beberapa bagian atap juga sudah ambrol
dan temboknya retak.
Kini, rumah yang ia tempati itu mulai dilakukan renovasi.
Saat wartawan mengunjungi
lokasi rumah itu di Jalan Belimbing Raya Nomor 34, Peterongan, Senin
(28/9/2020), tampak aktivitas sejumlah pekerja melakukan pembongkaran di beberapa bagian bangunan yang memang sudah tak layak.
Ya, pembongkaran ternyata baru
dilakukan sejak Senin (21/9/2020) oleh pihak REI Komisariat Semarang & Solo, bersama Denpom IV/5 Semarang.
Targetnya, selesai
pada 10 November 2020, bertepatan dengan momentum Hari
Pahlawan.
Sebelum direnovasi, Sanjoto sempat
dikunjungi Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, saat gowes ke daerah
Peterongan, Semarang Selatan.
Saat bertandang ke rumah mantan
pengawal dan pengaman rute gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman di Wonogiri
tahun 1948 itu, Ganjar merasa prihatin menyaksikan
rumah Sanjoto yang sudah tak layak huni.
Ganjar, yang
datang bersama Dandenpom IV/5 Semarang, Mayor CPM Okto Femula, mengutarakan
ingin merehab rumah yang rusak parah itu.
Gubernur pun menunjuk
Dandenpom IV/5 Semarang untuk mengatur proses rehab atau bedah rumah, dan akhirnya menggandeng REI Komisariat Semarang & Solo untuk menangani.
"Kami langsung bertindak cepat dengan
menggandeng REI Semarang & Solo. Kebetulan mereka adalah mitra
kami yang selalu memberi support
untuk rehab rumah veteran maupun asrama prajurit. Dibantu dengan CSR merekalah
kita akan bisa mewujudkan harapan Pak Sanjoto tinggal di rumah yang layak,"
ucap Mayor CPM Octo Femula, kala itu. [dhn]