WahanaNews.co | Wakil Koordinator Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar,
menyebut, penerbitan surat telegram Kapolri mengenai larangan media
siarkan arogansi dan kekerasan polisi berpotensi membahayakan kebebasan pers.
"ST
(surat telegram) tersebut berbahaya bagi kebebasan pers karena publik diminta
percaya pada narasi tunggal negara. Sementara polisi minim evaluasi dan audit
atas tindak-tanduknya, baik untuk kegiatan luring maupun daring," ujar
Rivanlee, melalui pesan singkat, Selasa (6/4/2021).
Baca Juga:
Jadi Penyidik Bareskrim, Kombes Hengki Haryadi Naik Pangkat Jadi Brigjen
Rivanlee
mengatakan, saat ini tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Polri
tengah menurun.
Namun,
langkah yang dilakukan Polri seharusnya tidak dengan menutup akses terhadap
media.
Seharusnya,
kata dia, pembenahan institusi secara struktural harus dilakukan sampai dengan
ke tingkat lapangan.
Baca Juga:
Mutasi dan Rotasi Jabatan Polri, Dankorbrimob dan 6 Kapolda Berganti
Sebaliknya,
penerbitan surat telegram tersebut justru akan membuat publik semakin tidak
puas.
"Terlebih
lagi, banyak catatan dari penanganan aksi massa yang brutal. Publik
mengharapkan polisi yang humanis, bukan yang suka kekerasan dengan dalih
ketegasan," tegas Rivanlee.
Kapolri
Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat telegram yang mengatur soal
pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi dan/atau kejahatan dalam program siaran
jurnalistik.