WahanaNews.co
| Insiden hilang kontak kapal selam KRI
Nanggala-402 memicu desakan peremajaan alat utama sistem senjata (alutsista).
Masalahnya,
ada keterbatasan anggaran militer dan masalah strategi prioritas belanja.
Baca Juga:
6 Fakta Menarik Halmahera Barat, Ada Pantai yang Bisa Mengusir Kegalauan Pengunjungnya
KRI
Nanggala-402 sendiri merupakan kapal produksi Jerman pada 1979.
Berdasarkan
analisis sementara TNI Angkatan Laut, kapal tersebut tenggelam pada kedalaman
600-700 meter karena black out saat penembakan torpedo, sehingga kapal
tidak terkendali.
Sejauh
ini, lokasi persis kapal belum diketahui. Namun, TNI memusatkan pencarian kapal
selam di sekitar utara pulau Bali, di dekat Celukan Bawang.
Baca Juga:
Serahkan Rumah Pada Ahli Waris KRI Nanggala 402, Bupati Sidoarjo Dampingi Menhan Prabowo
"Alutsista
kita memang karena terpaksa kita belum modernisasi lebih cepat. Ini mendesak,
kita harus modernisasi lebih cepat. Saya yakin dalam waktu dekat, alutsista
bisa dimodernisasi tiga matra," tutur Menteri Pertahanan Prabowo Subianto,
Kamis (22/4/2021).
Analis
militer, Soleman B Ponto, menyebut, wacana peremajaan alutsista ini kerap
terkendala oleh strategi pembelian yang lebih memprioritaskan barang bekas.
"Jangan
lagi beli kapal bekas, harus kapal baru. Sekarang sudah harus berani. Selama
ini bicara modernisasi tapi yang datang kapal bekas," sindir dia, Kamis
(22/4/2021).
Diketahui,
Prabowo sempat berencana mendatangkan jet tempur Eurofighter Typhoon
bekas dari Austria.
Rencana
ini mendapat kritik keras dari kalangan masyarakat sipil.
Soleman
mengakui, alutsista bekas ini harganya lebih murah dan bisa mendapat lebih
banyak armada.
Masalahnya,
biaya pemeliharaan dan potensi kecelakaannya jadi lebih tinggi.
"Lebih
baik punya dua [alutsista] baru daripada 5 bekas. Masalahnya biaya maintenance
tinggi. Kelihatannya belinya murah. [Biaya] yang paling tinggi itu merugikan
manusianya. Mendidik komandan kapal enggak mudah, apalagi permesinan dan
peralatan," tuturnya.
"Jangan
pikir lagi kapal tua. Sudah tiga kapal tua tenggelam," ucap dia, yang
merupakan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI itu.
Kapal-kapal
berusia tua yang tenggelam itu, antara lain, KRI Pati Unus-384 (2016), KRI
Sibarau-847 (2017), KRI Teluk Jakarta 541 (2020).
"Yang
baru-baru tenggelam tuh enggak ada," imbuhnya.
Terkait
insiden KRI Nanggala-402, Soleman menyebut, ke depannya perlu ada pengadaan
alutsista berupa kapal selam penyelamat.
Saat
ini, Indonesia masih mengandalkan armada milik negara luar untuk melakukan
evakuasi.
"Pelajaran
[dari kasus KRI Nanggala] bahwa kita membutuhkan kapal selam rescue.
Dulu [pernah punya] 12 [kapal selam], tapi enggak pernah punya kapal khusus rescue,"
ujarnya.
Di
acara yang sama, Anggota Komisi I DPR, Bobby Rizaldi, menyebut peremajaan
alutsista, termasuk pengadaan kapal selam, pada prinsipnya sudah masuk program minimum
essential force (MEF) tahap III yang berakhir pada 2024.
"Peremajaan
itu perlu, tapi kan kita mengalami beberapa kendala, termasuk persentase
[anggaran pertahanan] terhadap PDB (produk domestik bruto) yang masih sangat
rendah dari ideal," kata dia.
"Di
bawah 1 persen [dari PDB], 0,8 [persen]. Idealnya, [anggaran pertahanan itu] di
atas 1,2 persen dari PDB," imbuhnya.
Menurut
dia, keberadaan alutsista tua tak lepas dari penyetopan peremajaan alutsista
pada periode 1998 hingga 2008.
Pemerintah
kemudian mencanangkan MEF dalam tiga tahap untuk mengejar ketertinggalan.
"Postur
TNI AL sangat-sangat kurang, kapal sangat tua," ucap Bobby, yang merupakan
politikus Partai Golkar itu.
Soal
pengadaan alutsista bekas, dia mengaku itu merupakan strategi sekaligus hasil
kompromi terkait keterbatasan anggaran militer.
Terlebih,
katanya, peremajaan bisa berarti "meremajakan yang tua atau menambah atau
mengganti formasi".
"Kalau
mau idealnya semua baru. Cuma ada keterbatasan penganggaran yang membuat
militer, TNI, Kemenhan harus pintar lah memainkan strategi juga," ujar dia.
"Mungkin
ada satu kompromi, yang paham militer lah, kenapa [beli] bekas. Kami hanya
memastikan legislasi, payung hukum, cek ricek, anggaran bisa terserap dengan
baik, enggak ada kapal enggak layak," jelasnya.
Terkait
pengadaan kapal selam, Bobby menyatakan jumlah idealnya, mempertimbangkan luas
wilayah, adalah 12 unit.
Saat
ini, TNI AL baru memiliki lima unit. Hal itu pun sudah tercantum dalam Rencana
Strategis IV atau MEF III.
"Idealnya
kapal selam 12, karena luas wilayah. Baru tiga [pengadaan], nanti tambah tiga,
jadi totalnya delapan. Kita memastikan ada, dan tidak mengganggu
program-program pembangunan yang lain," urai dia.
Ia
mengungkapkan 12 pengadaan kapal selam ini termasuk dengan kapal selam
penyelamat.
"Kejadian
hari ini, seperti submarine rescue atau ocean going ship termasuk
renstra 5 tahun ini akan dibeli," ujarnya.
Perbaikan
Strategi Belanja
Upaya
modernisasi alutsista sebenarnya sudah dipetakan melalui Minimum Essential
Force (MEF) atau Kebutuhan Pokok Minimum yang dicanangkan pemerintah sejak
2007.
MEF
dibagi ke beberapa tahap dengan jenjang waktu lima tahun. Tahap I dimulai pada
2010-2014, tahap II 2015-2019, dan tahap III 2020-2024.
Harapannya,
MEF sudah dipenuhi 100 persen pada 2024.
Namun,
Pusat Kajian Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendapati capaian MEF
tahap II masih mandek.
Seharusnya,
pada 2019 MEF sudah mencapai target 75,54 persen. Realitasnya, MEF yang dipenuhi
baru 63,19 persen.
Progres
pemenuhan target MEF sepanjang tahap II bisa dibilang minim.
Pada
2014, MEF berada pada 54,97 persen. Artinya, dalam kurun waktu lima tahun
pemenuhan alutsista hanya meningkat 8,22 persen.
"Percepatan
pemenuhan MEF sangat dibutuhkan, mengingat hingga tahap II realisasi pemenuhan
MEF masih di bawah dari target yang ditetapkan," tulis dokumen yang
diterbitkan 5 April 2021 itu.
DPR
mendapati capaian MEF paling rendah di TNI Angkatan Udara. Pemenuhan alutsista
di TNI AU hanya 45,19 persen.
Sementara
TNI Angkatan Darat 78,82 persen, dan TNI Angkatan Laut 67,57 persen.
Analisis
DPR pada 2020 juga mencatat, sebelum MEF, TNI AU memiliki 211 pesawat, 17 radal
dan 20 penangkis serangan udara (PSU).
Hingga
MEF tahap II rampung, penambahan alutsista di TNI AU hanya 56 pesawat, 3 radal
dan 4 PSU.
Ini
jauh dari realisasi yang dilakukan TNI AD dan TNI AL.
Masih
mengutip dokumen yang sama, dengan jumlah penduduk sekitar 262,7 juta, Indonesia
memiliki 400 ribu personel militer dan 400 ribu personel cadangan.
Sementara,
anggaran pertahanan yang dikerahkan rata-rata mencapai US$ 7.600 juta atau Rp 110,4
triliun per tahun.
Anggaran
pertahanan Indonesia kalah jauh dari Singapura yang hanya berpenduduk 5,9 juta
jiwa, namun memiliki 72.500 personel militer aktif, 312.500 personel cadangan,
dan anggaran militer US$ 11.200 juta atau Rp 162,7 triliun.
Sudah
anggarannya terbatas, mayoritas anggaran pertahanan di Indonesia dipakai untuk
belanja pegawai.
Contohnya,
pada 2020, Indonesia menganggarkan Rp 127,35 triliun untuk bidang pertahanan.
Anggaran
sebesar itu 41,6 persennya dipakai untuk belanja pegawai, 32,9 persen untuk
belanja barang, dan 25,4 persen untuk belanja modal.
Sementara,
anggaran untuk program modernisasi alutsista dialokasikan khusus sebesar Rp 10,86
triliun.
Redefenisi
MEF
Pengamat
militer dari MARAPI Consulting, Beni Sukadis, menilai, lambatnya pemenuhan MEF
terhambat anggaran pertahanan dan belanja alutsista yang terbatas.
Sehingga,
ia menilai, seharusnya Kementerian Pertahanan mengubah strategi pemenuhan MEF.
"Sebenarnya
MEF menurut saya harus diubah. Harus ada redefinisi dari konsep MEF ini. Dua
tahun lalu saya pernah diminta [Kemenhan] mengulik ini. Tapi enggak jadi, tiba-tiba
[upaya itu] mundur," cerita Beni kepada wartawan, Jumat (23/4/2021).
Perubahan
MEF ini, jelas dia, fungsinya untuk memastikan militer Indonesia bisa menjaga
kedaulatan negara dari ancaman luar, namun dengan anggaran yang seadanya.
Dalam
hal ini, Prabowo harus putar otak.
Dengan
anggaran yang minim, Beni menilai, seharusnya Kementerian Pertahanan menyusun
strategi pemenuhan MEF berdasarkan prioritas ancaman yang paling tinggi
potensinya di Indonesia.
"Menurut
saya, [prioritas utama adalah] kapabilitas deteksi pesawat atau kapal asing
yang memasuki wilayah kita, ancaman penculikan ABK (anak buah kapal), ancaman
kelompok teroris di perbatasan, dan kemampuan membantu pemerintah menangani
bencana alam," tuturnya.
Setelah
menyusun strategi berdasarkan prioritas, baru ia menyarankan pemerintah mulai
melirik sumber anggaran, baik dari luar maupun dalam negeri.
Artinya,
Prabowo harus bisa melobi Kementerian Keuangan atau pihak asing untuk
memperhatikan atau mensponsori belanja alutsista.
Beni
sendiri mengapresiasi upaya Prabowo dalam dua tahun terakhir yang bersafari
mencari alutsista di negara-negara luar.
Namun,
ia menekankan percepatan pemenuhan MEF agar mencapai target di 2024.
Prabowo
sendiri sempat mengakui ada dilema dalam belanja alutsista; di satu sisi,
alutsita modern dibutuhkan. Di sisi lain, harganya sangat mahal.
"Alutsista
di bidang pertahanan memang cukup mahal. Bahkan bisa saya katakan ya sangat
mahal. Sangat mahal," kata dia, di Bali, Kamis (22/4/2021).
"Dilema
harus mengutamakan pembangunan kesejahteraan, tapi menjaga kemampuan pertahanan
supaya kedaulatan kita tidak diganggu," imbuhnya. [dhn]