WahanaNews.co | Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, meminta
agar persoalan politik yang terjadi di Indonesia tanpa melibatkan militer.
"Jangan lagi ada yang berpikir
untuk menggunakan militer untuk memperbaiki keadaan betapa pun argumen
ketidaksukaan kita pada situasi yang berlaku. Masalah politik hendaknya
diselesaikan secara politik, tanpa campur tangan militer," kata Agus
Widjojo, dalam seminar tentang Pilkada
Serentak dan Konstelasi Politik di Daerah, di Kantor Lemhannas, Jakarta,
Kamis (11/2/2021).
Baca Juga:
Ini 10 Negara dengan Militer Terkuat di Dunia pada 2024
Menurut Agus, Indonesia perlu
mengidentifikasi praktik negatif dalam Pilkada Serentak yang mempengaruhi implementasi kaidah demokrasi melalui
gejala yang terjadi di masyarakat.
Tujuannya, lanjut dia, untuk menjaga
kepercayaan masyarakat kepada sistem demokrasi dengan segala implementasinya.
"Hal ini penting karena demokrasi
telah menjadi pilihan strategis rakyat Indonesia sejak reformasi," ujarnya, dalam siaran persnya.
Baca Juga:
Kudeta Militer Guncang Negara Bolivia, Apa yang Terjadi?
Agus mencontohkan negara Amerika
Serikat melihat pentingnya kekuatan masyarakat (civil society) dan tetap menggunakan kaidah demokrasi dalam jalur
politik tanpa campur tangan militer.
Menurutnya, masyarakat AS yang
prihatin dengan gaya kepemimpinan Presiden sebelumnya, Donald Trump, berusaha untuk mengembalikan demokrasi di jalur yang semestinya.
Dengan kekuatan civil society, maka demokrasi ini bisa diselamatkan melalui
kaidah-kaidah demokrasi juga.
"Di sini kita melihat pentingnya
kita percaya pada demokrasi dan selalu berusaha berjalan dalam rambu
demokrasi," kata Agus pula.
Sementara itu, di Myanmar terjadi
pengambilalihan kekuasaan oleh junta militer. Mereka menggulingkan pemerintahan yang
dipilih secara sah melalui pemilu.
Kalau pun Tiongkok, sebagai negara
sandaran Myanmar, menggunakan hak veto di PBB untuk membela junta militer
Myanmar, mereka menyesalkan terjadinya kudeta di Myanmar.
"Tapi saya rasa itu bukan
cerminan Tiongkok menyetujui junta. Mereka lebih menjaga manuver perimbangan
tata global. Sementara menghadapi protes politik di Hong Kong, betapa pun lama
dan kerasnya, Tiongkok tetap menggunakan penegakan hukum," kata Agus pula.
Kedua negara tersebut, menurut Agus,
dapat menjadi catatan bagi Indonesia seandainya ada pihak yang memiliki pikiran
untuk memperbaiki keadaan dengan menggunakan militer.
"Walaupun dengan dalih untuk
memperbaiki keadaan, pengambilan kekuasaan seperti itu kurang memberikan hasil
untuk menuju keadaan yang lebih baik. Sejarah menunjukkan perbaikan itu tidak
pernah terbukti. Pengambilalihan kekuasaan secara paksa justru menghasilkan
keadaan yang kurang baik dan malah kembali pada garis nol," ujar Agus
Widjojo, menegaskan. [qnt]