WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kementerian ATR/BPN akan memperkuat kolaborasi lintas kementerian dengan Kementerian Pertanian guna memastikan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) tercantum secara tegas dalam Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Langkah ini dinilai penting untuk menjaga keberlanjutan lahan pertanian sekaligus menekan laju alih fungsi lahan sawah.
Baca Juga:
Menjaga Identitas Budaya Lewat Sertifikasi Tanah Ulayat di Sumba Timur
Berdasarkan data ATR/BPN, hingga saat ini terdapat 269 kabupaten/kota yang belum memasukkan KP2B ke dalam Perda RTRW.
Selain itu, 139 kabupaten/kota lainnya memiliki luasan KP2B yang masih berada di bawah 87 persen dari total Lahan Baku Sawah (LBS). Daerah-daerah dengan kondisi tersebut didorong segera melakukan revisi Perda RTRW.
Sebagai dasar penyusunan dan revisi Perda RTRW, pemerintah daerah diminta segera melakukan identifikasi lahan sawah eksisting, dengan batas waktu paling lambat Februari 2026.
Baca Juga:
BPN Ngada Gencar Lakukan Pemetaan ZNT
Data tersebut akan menjadi acuan penting dalam penetapan kawasan pertanian yang harus dilindungi secara hukum.
Kebijakan ini disampaikan langsung oleh Menteri ATR/BPN Nusron Wahid saat menghadiri Rapat Koordinasi Tata Ruang dan Pertanahan yang digelar di Gedung Sate, Bandung, Kamis (18/12/2025).
Rapat tersebut turut dipimpin oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan dihadiri sejumlah pemangku kepentingan terkait.
Selain persoalan KP2B, pemerintah juga menaruh perhatian pada pemanfaatan sawah aktif yang berada di dalam kawasan hutan.
Untuk itu, diperlukan pembahasan lanjutan dan koordinasi intensif dengan Kementerian Kehutanan agar kebijakan yang diambil tetap sejalan dengan prinsip perlindungan lingkungan dan ketahanan pangan nasional.
“Selama database belum tersedia, akan dilakukan moratorium penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) di atas lahan sawah, baik kewenangan pusat maupun daerah. Wajib mengganti LBS bila terjadi alih fungsi lahan di wilayah-wilayah perdesaan untuk menjaga keseimbangan wilayah,” tuturnya.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyatakan dukungannya terhadap langkah Menteri ATR/BPN dalam menata dan menyelaraskan Perda RTRW, khususnya di wilayah Jawa Barat.
Ia menegaskan pentingnya kesesuaian kebijakan tata ruang antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
“Kita segera membuat perda penataan ruang dimana akan ada kesesuaian antara provinsi dengan kabupaten/kota sehingga nanti klop. Januari ini kita usulkan,” tegasnya.
Menurut Dedi, arah penataan ruang dalam Perda RTRW ke depan difokuskan pada perlindungan kawasan hutan, areal persawahan, rawa-rawa, daerah sumber air, serta daerah aliran sungai (DAS).
Dengan terbentuknya Perda RTRW di tingkat kabupaten/kota, maka tidak lagi diperlukan peraturan gubernur maupun surat edaran terkait pengendalian alih fungsi lahan.
“Kalau hari ini memang kondisinya adalah kondisinya darurat. Aturannya dibolehkan (alih fungsi lahan), tapi bisa menimbulkan bencana. Ya, kita pilih mana? Pilih taat pada aturan atau pilih menangani bencana. Ya, saya sih pilih menangani bencana,” tegasnya.
Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa KDM juga menambahkan bahwa Kementerian ATR/BPN tengah mempercepat proses sertifikasi seluruh aset negara, baik yang dikelola oleh BUMN, kementerian, maupun pemerintah daerah, guna mencegah konflik dan sengketa di kemudian hari.
“Hari ini sudah bersepakat antara Kanwil ATR/ BPN Provinsi Jawa Barat dengan Perhutani dan PTPN untuk segera melakukan penanganan terhadap aset-aset negara di Provinsi Jawa Barat agar segera tersertifikatkan, sehingga tidak terjadi sengketa di lapangan. Hal berikutnya juga kita mendorong dengan Kementerian PU untuk segera menetapkan sempadan sungai di seluruh provinsi Jawa Barat. Dengan begitu, kalau nanti sepadan sungai sudah ditetapkan oleh Menteri PU, maka sertifikat yang muncul itu dapat dicabut oleh Menteri ATR/BPN,” tuturnya.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Kehutanan, Ade Tri Ajikusumah, mengungkapkan bahwa luas kawasan hutan di Jawa Barat saat ini hanya tersisa sekitar 760 ribu hektare dan terus mengalami penyusutan.
Luasan tersebut setara dengan 22,54 persen dari total luas daratan Jawa Barat, jauh di bawah angka ideal.
Padahal, keseimbangan ekologis suatu wilayah umumnya tercapai jika sekitar 30 persen wilayahnya mampu berfungsi sebagai kawasan resapan air atau kawasan hutan.
“Sekarang kami di Kementerian tidak akan lagi mengeluarkan ijin lokasi dan ijin lingkungan jika tidak ada ijin dari instansi atau gubernur Jabar,” tegasnya.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]