WAHANANEWS.Co, Jakarta - Isu kekerasan berbasis gender online (KBGO) semakin mendesak untuk ditangani dengan serius oleh media, platform digital, dan pemerintah, guna menciptakan ruang digital yang aman bagi semua, terutama bagi jurnalis dan pekerja media perempuan yang rentan terhadap KBGO.
Urgensi ini menjadi sorotan dalam diskusi hybrid bertajuk #JagaRuangOnline: Media Melawan KBGO, yang digelar Magdalene.co, sebuah media yang berfokus pada isu perempuan, dengan dukungan dari ABC International Development (ABCID), unit dari Australian Broadcasting Corporation (ABC) yang berperan dalam mendukung peningkatan kualitas jurnalisme di kawasan Asia-Pasifik.
Baca Juga:
Netanyahu Resmi Jadi Buronan Setelah ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
Acara ini berlangsung pada Kamis (8/8/2024) di Kineforum Asrul Sani, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemimpin organisasi media, perwakilan platform digital, serta pemerintah.
Yovantra Arief, Direktur Eksekutif Remotivi, dalam diskusi tersebut menyatakan, "Dengan kemajuan teknologi, KBGO telah menjadi ancaman serius yang meningkatkan kerentanan jurnalis perempuan. Sayangnya, kasus-kasus KBGO masih sering dianggap remeh oleh masyarakat, bahkan oleh komunitas pers sendiri. Banyak yang mengira kekerasan seksual harus berwujud fisik, padahal KBGO dapat berdampak psikologis yang sangat serius bagi korban."
Minimnya Pemahaman KBGO
Baca Juga:
Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Kasus Masih dalam Penyelidikan
Bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan didukung oleh ABCID, Remotivi telah mengadakan survei pada 2023 yang melibatkan sekitar 200 jurnalis.
Hasilnya menunjukkan bahwa bentuk KBGO yang paling umum dialami oleh perempuan di bidang jurnalistik adalah pelecehan melalui pesan pribadi, serangan verbal dengan bahasa kasar, pemantauan yang tidak diinginkan, serta pelecehan berbasis gambar dan komentar cabul.
Survei ini juga mengungkap bahwa jurnalis perempuan sering menjadi target KBGO sebagai bentuk represi terhadap pemberitaan kritis.
Namun, minimnya pemahaman tentang KBGO di kalangan masyarakat memperlihatkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang ancaman ini.
Diperlukan akuntabilitas dan peningkatan kapasitas organisasi media untuk lebih responsif dalam menanggapi isu ini, dengan menerapkan kebijakan yang tegas dan memberikan dukungan bagi para korban.
Citra Dyah Prastuti, Wakil Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), menegaskan bahwa AMSI terus berupaya mendorong anggotanya untuk lebih responsif terhadap isu kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Pada tahun ini, AMSI bersama beberapa anggota telah meluncurkan Modul dan SOP Pencegahan dan Penanganan KBGO di Perusahaan Media.
"Isu KBGO penting bagi media dan perusahaan media itu sendiri," jelas Citra.
Ia mengungkapkan bahwa semua pihak dalam perusahaan media, baik staf redaksi maupun tim lainnya, rentan menjadi korban KBGO.
Karenanya, jurnalis dan pekerja media perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang KBGO agar dapat melindungi diri sendiri sekaligus mendorong perusahaan untuk menerapkan regulasi berbasis gender guna melindungi semua pekerja.
Kasus KBGO dapat mengguncang internal perusahaan dan berdampak buruk pada bisnis. Sebuah perusahaan yang aman bagi karyawannya akan lebih mampu tumbuh secara berkelanjutan.
“Keberagaman gender di tim redaksi membantu media tetap relevan dengan berbagai perspektif. Oleh karena itu, perusahaan media harus memiliki kesadaran dan regulasi berbasis gender,” ujar Citra, yang juga menjabat sebagai pemimpin redaksi KBR, dalam diskusi tersebut.
Menganggu Integritas Jurnalisme
Kekerasan online berbasis gender terhadap jurnalis perempuan kerap dirancang untuk mempermalukan, meremehkan, mengintimidasi, membungkam, dan mendiskreditkan mereka secara profesional.
Para penyintas sering melaporkan penurunan produktivitas akibat stres, kehilangan pekerjaan, hingga menderita PTSD.
Dalam kasus yang parah, pengalaman ini bisa mendorong mereka untuk meninggalkan dunia jurnalisme.
Jika hal ini terus terjadi, dapat berdampak negatif pada kepercayaan terhadap integritas jurnalisme, serta mempengaruhi kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Devi Asmarani, Pemimpin Redaksi Magdalene, mengungkapkan bahwa sebagai media yang berperspektif gender dan kritis terhadap berbagai isu, termasuk KBGO, tim editorial Magdalene sering menjadi target serangan KBGO.
“Kami sangat merasakan dampak dari KBGO, mulai dari komentar bertubi-tubi yang kasar hingga tindakan doxxing. Kami harus merespons dengan cepat untuk mencegah dampak yang lebih parah terhadap tim kami, terutama mereka yang berada di garis depan media sosial,” jelas Devi.
Sementara itu, Lead International Development dari ABCID, Jo Elsom, yang dihubungi secara terpisah, menyatakan, media perlu menyediakan tempat kerja yang aman bagi stafnya.
"Kita tidak hanya bisa mempelopori upaya pencegahan dan penanganan KBGO, tetapi juga bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan kesadaran akan dampak isu ini, serta pentingnya mendukung perilaku online yang aman.”
Masyarakat juga sering kali terhambat dalam memproses kasus KBGO karena ketidakpastian hukum di Indonesia dan kurangnya sosialisasi tentang isu ini bagi masyarakat umum maupun aparat penegak hukum.
Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender, yang memiliki 87 anggota, mencatat 91 laporan KBGO.
Korbannya beragam, dari perempuan hingga kelompok rentan lainnya. Tantangan utama dalam penanganan kasus ini adalah proses hukum yang panjang, beban pembuktian yang berat, serta keterbatasan sumber daya dan respons aparat.
“Yang tak kalah penting adalah penghapusan konten KBGO yang sangat sulit. Dibutuhkan komitmen bersama, dukungan regulasi, dan sumber daya yang memadai untuk mewujudkannya,” ujar Novita Sari, Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan.
Pembicara dalam diskusi ini juga sepakat akan peran pemerintah sebagai regulator untuk meningkatkan keamanan ruang digital bagi semua dan memastikan korban mendapatkan keadilan.
“Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa dampak tidak hanya positif namun juga dampak negatif. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah praktik Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang marak terjadi dalam ruang digital. Pemerintah terus berupaya menjaga dan meningkatkan dampak positif dari perkembangan teknologi tersebut dan, di sisi lain, secara holistik menekan seluruh dampak negatif yang dapat ditimbulkan dengan berbagai cara.” jelas Ryan Abdisa Sukmadja, Tim Penyidikan dan Ahli UU ITE, Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Komitmen platform media sosial untuk meningkatkan upaya untuk menjaga ruang digital yang bebas KBGO lewat teknologi maupun kebijakan juga sebuah kunci dalam mengatasi masalah ini.
Dessy Sukendar, Policy Programs Manager Meta di Indonesia mengatakan, “Masyarakat, termasuk jurnalis dan aktivis, menggunakan teknologi dan berbagai program Meta untuk terhubung dengan komunitas, mengeksplorasi minat, dan membuat atau berbagi cerita. Kami terus mendorong interaksi yang aman di platform
kami, termasuk menawarkan perlindungan untuk melindungi informasi, akun, dan kontak.”
Pengumuman Pemenang Kompetisi Jurnalistik
Dalam forum ini, Magdalene mengumumkan pemenang kompetisi jurnalistik KBGO yang diselenggarakan pada 22 Mei 2024 – 5 Juli 2024 dan diikuti 60 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia untuk tiga kategori (artikel, video dan konten media sosial).
Panel juri kompetisi ini beranggotakan Ketua Umum AJI, Nany Afrida, Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, dan Ignatius Haryanto, Akademisi Universitas Multimedia Nusantara (UMN).
Pemenang pertama untuk kategori Artikel adalah Christiabella Abigail Loppies dari KBR Media dengan artikel berjudul “Jalan Terjal Penanganan KBGO Berperspektif Korban”.
Pemenang kedua adalah Arya Nur Prianugraha dari Bincang Perempuan, dan pemenang ketiga adalah Muhammad Irfan Al-Amin dari Tirto.
Neno Karlina Paputungan dari Zona Utara juga menerima penghargaan honorary mention.
Untuk kategori video, pemenang utama adalah Tri Indriawati dari Kompas.com dengan judul video: “Kasus KBGO Kian Marak, Sudahkah Media Sosial Jadi Ruang Aman bagi Semua Orang?”.
Pemenang kedua di kategori ini adalah Firda Iskandar dari digitalMamaID dan pemenang ketiga adalah Retno Wahyuningtyas dari Bincang Perempuan.
Untuk kategori media sosial pemenang pertama adalah Hayden Farrel Nugraha dan Faricha Tresna Ning Adinda yang tidak mewakili media dengan judul konten: “Kenalnya dari Swipe Kanan, Endingnya Malah Dibikin Angkat Tangan”.
Ia diikuti oleh pemenang kedua dan ketiga Christiabella Abigail Loppies dari KBR Media, dan Julita Hasanah, yang juga mewakili pribadi.
Kompetisi ini dinilai sangat bagus untuk mendorong jurnalis-jurnalis di Indonesia agar lebih banyak memproduksi karya jurnalistik serta konten-konten di media sosial terkait KGBO.
Dengan makin banyaknya konten terkait KGBO, jurnalis di Indonesia bisa memberikan edukasi lebih luas kepada masyarakat dan warganet agar lebih waspada terhadap segala bentuk kekerasan gender yang bisa terjadi di berbagai platform media sosial dan internet.
“Semoga ke depannya, semakin banyak kompetisi jurnalistik yang bisa mendorong sekaligus mengapresiasi karya-karya para wartawan Indonesia, khususnya yang selalu menyuarakan keberagaman," salah satu peserta kompetisi, Tri Indriawati dari Kompas.com berharap.
Acara talkshow dan kompetisi jurnalistik ini merupakan bagian dari Indonesia Media Program yang diimplementasikan oleh ABC International Development (ABCID) dan didanai oleh Pemerintah Australia di bawah Strategi Penyiaran Indo-Pasifik.
ABC International Development (ABCID) adalah unit dari Australian Broadcasting Corporation (ABC) yang berperan dalam meningkatkan kualitas jurnalisme dan mendukung media dalam melayani kepentingan publik di Asia-Pasifik.
ABCID bekerja dengan media dan mitra komunikasi untuk melatih, mendukung pembuatan konten, dan melakukan penelitian guna memberdayakan komunitas di kawasan tersebut.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]