Mendagri Jelaskan Alasan Dewan Kawasan Aglomerasi Jakarta Dipimpin Wapres
Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) mengatur pembentukan kawasan aglomerasi. Penataan kawasan aglomerasi Jakarta menjadi kewenangan Dewan Aglomerasi yang dipimpin oleh Wakil Presiden.
Baca Juga:
30 Anggota DPRD Kabupaten Kolaka Periode 2024-2029 Dilantik di Rapat Utama
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan alasan Dewan Kawasan Aglomerasi dipimpin oleh Wapres. Salah satunya, sebab penataan kawasan aglomerasi akan menjadi pembahasan lintas menteri koordinator (menko).
"Karena ini persoalan lintas menko, nggak bisa ditangani satu orang menko. Nggak mungkin semuanya diserahkan kepada presiden, wapres lah sebagai ketua dewannya," kata Tito dalam diskusi bertajuk 'Ada Apa Dengan Daerah Khusus Jakarta?' di Media Center Indonesia Maju, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/12/2023).
Nantinya, kata Tito, pada dewan aglomerasi tersebut diisi oleh menko dan menteri-menteri terkait. Namun, Tito belum merinci lebih detail mengenai siapa saja yang menjadi bagian dalam Dewan Kawasan Aglomerasi nantinya.
Baca Juga:
Pjs Gubernur Kaltara Togap Simangunsong Gelar Pertemuan Perdana dengan ASN
Baca juga:
Mendagri Tegaskan Gubernur DKI Dipilih Via Pilkada di RUU DKJ Versi Pemerintah
Kemudian, Tito menjelaskan terkait rencana pembentukan kawasan aglomerasi yang tertuang dalam draf RUU DKJ. Menurut Tito, sejatinya Jakarta memang merupakan kawasan aglomerasi.
"Jadi aglomerasi ini satu kumpulan daerah itu, ini nggak bisa dihindarkan di Jakarta dan sekitarnya. Kita semua udah tahu, Jakarta bukan suatu daerah yang terisolasi dengan batas alam," ucap Tito.
"Ini ada salah satellite cities sama seperti Tokyo, satellite cities Bekasi, Tangerang, Depok. Nah ini sudah menjadi satu kehidupan di dalam satu aglomerasi ini masyarakatnya, satu nggak ada batas alam, interaksi sangat tinggi," tambahnya.
Karena itu, Tito menerangkan bahwa banyak persoalan-persoalan yang harus dikerjakan dan harus diharmonisasikan. Mulai dari perencanaan pembangunan, eksekusi, sampai ke evaluasinya.
"Ini aglomerasi perlu dilakukan kegiatan sinkronisasi, mirip dia seperti Badan Percepatan Pembangunan Papua. Dia tidak eksekusi, bukan eksekutor, jadi hanya mensinkronkan dan mengharmonisasikan perencanaan pembangunan, dan setelah itu melakukan evaluasi, hanya itu," terang Tito.
Adapun perihal eksekusi, lanjut Tito, akan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Namun tetap dimonitor dan dievaluasi oleh Dewan Kawasan Aglomerasi.
"Ujungnya tetap harus melapor kepada presiden, harus. Ngelapor kepada presiden tentang apa-apa, kalau nggak mampu diatasi oleh wapres bisa melapor juga, yang perlu diambil alih oleh presiden. Misalnya kan mengeluarkan perpres atau peraturan pemerintah dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan dan mempercepat pembangunan," ujarnya.