WahanaNews.co
| Mbah
Priok atau Habib Hassan Al Haddad sudah menjadi tokoh keramat bagi masyarakat
Jakarta Utara, khususnya Koja, Tanjung Priok.
Makamnya pun, yang terletak di Jalan Jampea Nomor
6, Koja, menjadi tempat ziarah yang selalu ramai pengunjung.
Baca Juga:
Pemprov DKI Jakarta Beri Sanksi Disiplin pada Personel Satpol PP yang Judi Online
Masyarakat dari berbagai daerah datang
berduyun-duyun ke sana untuk melakukan doa bersama dan memberi penghormatan
kepada sosok yang dikenal berjasa dalam menyebarkan agama Islam tersebut.
Koja Berdarah
Baca Juga:
Wajib Tahu, Fitur Bikin Hidup Makin Mudah di Aplikasi PLN Mobile
Namun, pada 14 April 2010, terjadi sebuah
peristiwa berdarah di sekitar makam keramat itu.
Bentrokan terjadi antara warga dan petugas
keamanan yang terdiri dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) serta aparat
TNI dan Polri.
Pemicunya adalah sengketa tanah.
Catatan bbc.com, pemerintah DKI
mengklaim bahwa makam itu berdiri di atas lahan milik PT Pelabuhan Indonesia
(Pelindo) II.
Namun, klaim tersebut dibantah oleh pewaris
makam Mbah Priok, sehingga terjadilah bentrokan.
Akibat bentrokan tersebut, tiga anggota Satpol
PP meninggal dunia. Sebanyak 28 orang mengalami luka berat, 21 orang luka
sedang, dan 148 luka ringan.
Korban berasal dari warga dan petugas keamanan.
Kronologi Kejadian
Kepala Satpol PP Kepulauan Seribu, Hotman
Sinambela, yang terlibat dalam peristiwa berdarah itu, mengisahkan pengalaman
traumatis yang ia alami ketika mengawal penggusuran lahan makam Mbah Priok.
"Saya masih ingat benar, saya lompat pagar
tinggi sampai tiga kali. Setelah itu, baru lewat laut naik perahu (kabur dari
lokasi kerusuhan), karena saya memang warga Kepulauan Seribu," ujarnya,
Sabtu (17/4/2021).
Hotman mengisahkan, eksekusi penggusuran lahan
makam dimulai sekitar pukul 05.20 WIB pada Rabu (14/4/2010).
Sebanyak 1.750 anggota Satpol PP dari beberapa
wilayah, termasuk dari Kepulauan Seribu, diterjunkan.
Baru sampai mengeruk bagian depan area makam,
sekelompok orang sudah melakukan perlawanan.
Sebagian massa mengacung-acungkan celurit dan
parang.
Lama-kelamaan, kelompok tersebut mendapat
bantuan yang lebih besar dan membentuk massa yang tidak terkendali.
"Bayangkan, anggota saya tidak bersenjata,
tapi dilawan dengan orang-orang yang mengacungkan samurai dan celurit. Bahkan
sudah lempar bom molotov," ujar Hotman.
Satpol PP Jadi Korban
Ia mengakui, anggotanya sempat memberikan
perlawanan karena melihat ada anggota Satpol PP, bernama Tadjudin, sudah putus
tangannya tersabet parang.
"Anggota saya melihat Tadjudin tangannya
sudah putus saat itu. Sebenarnya, saat itu juga dia sudah meninggal. Kalau
sudah begitu, siapa yang enggak panik. Cuma masalah tanah gapura saja
sampai seperti itu. Kami sebenarnya tidak menginginkan seperti itu
terjadi," ujarnya.
Pada siang hari, massa mulai menguasai akses
pintu masuk ke makam, yang merupakan jalan menuju Terminal Petikemas Koja.
Ia dan anak buahnya harus tunggang langgang
menghindar dari serbuan massa yang mulai membabi buta jika melihat ada anggota
Satpol PP di lokasi kejadian.
Menjelang Maghrib, Hotman sempat
mengkhawatirkan keselamatan anggotanya. Karena sempat menunggu beberapa menit
sebelum ada speed boat yang menjemput.
"Saat itu, saya cemas dan bingung juga.
Mau bagaimana lagi kalau sudah di ujung," ujarnya.
Hotman mengaku tak terlalu memikirkan berapa
miliar jumlah kerugian yang dialami pihaknya.
Ia lebih khawatir nasib anggotanya yang belum
kembali.
"Yang sudah kembali dengan saya lewat laut
baru 877 dari 1750 orang. Saya dapat informasi, ada 2 mayat lagi ditemukan.
Tapi, kami belum tahu kebenarannya," ujarnya.
Sebagai pimpinan Satpol PP Kepulauan Seribu,
Hotman minta kepada anggota Satpol PP yang belum kembali segera melapor ke
Posko Pengaduan.
Ia juga minta bantuan masyarakat agar melapor
jika menemukan anggota yang sakit ataupun tewas.
"Saya minta bantuan masyarakat untuk
mencari di mana mayatnya. Kalau pun hanya tinggal kepalanya, beritahu
kami," pintanya.
Ia akui, pada malam itu juga mendapat perintah
dari atasan agar anggota Satpol PP tidak aktif sementara.
Bahkan, untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan, anggota Satpol PP hanya berani mengenakan pakaian biasa. [dhn]