WahanaNews.co | Momen perdebatan panas memang biasa terjadi dalam setiap
organisasi, termasuk di Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Namun, ceritanya
akan menjadi lain jika yang beradu argumen itu adalah
sosok Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dan Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto
Djojohadikusumo.
Baca Juga:
Dukung Giat TNI, Bupati Humbahas Ikut Serta Bersihkan Eceng Gondok di Danau Toba
Dikutip dari buku Timor-Timur The Untold Story, peristiwa perdebatan panas antara
Kiki dan Prabowo terjadi pada pertengahan 1995 di Timor-Timur.
Saat itu, Kiki masih berpangkat
Kolonel TNI, dengan jabatan sebagai Komandan Komando Resor Militer (Danrem)
164/Wira Dharma (WD).
Jebolan Akademi Militer (Akmil) 1971
ini ditunjuk menjadi Danrem 164/WD pada 1994, setelah sebelumnya menduduki
posisi sebagai Wakil Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Wadanpussenif) TNI
Angkatan Darat.
Baca Juga:
Bupati Taput Apresiasi Giat TNI Manunggal Memelihara Danau Toba di Pantai Landai Balige
Bukan perkara mudah bagi Kiki menjadi
pimpinan di wilayah yang tengah mengalami pergolakan.
Saat itu, Kiki bertanggung jawab penuh
atas situasi keamanan di Timor-Timur.
Selain itu, sebagai Danrem 164/WD,
Kiki membawahi 13 Komando Daerah Distrik (Kodim) dan Batalyon Infanteri (Yonif)
745/Sampada Yudha Bhakti (SYB).
Di saat yang sama, Prabowo --yang juga berpangkat Kolonel TNI-- datang ke
Timor-Timur.
Dengan jabatan sebagai Wakil Komandan
Jenderal Komando Pasukan Khusus (Wadanjen Kopassus), Prabowo
membawa pasukan elite TNI Angkatan Darat itu untuk
menjalankan Operasi Melati.
Sebagai Danrem 164/WD, Kiki sama
sekali tidak merasa ada masalah dengan Operasi Melati yang dijalankan pasukan
Kopassus di bawah komando Prabowo.
Namun, yang menjadi keberatan Kiki
adalah rencana Kopassus untuk membuat massa tandingan.
Rencana pembentukan massa tandingan
oleh Kopassus bukan tanpa alasan.
Banyaknya aksi unjuk rasa yang
dilakukan oleh Front Revolusi Kemerdekaan Timor-Leste (Fretilin), diyakini
harus dilawan oleh massa yang mendukung pro-integrasi Indonesia.
Prabowo meyakini taktik ini agar
pasukan TNI tidak perlu turun tangan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi, demi menjaga citra TNI yang terus menerus dituding sebagai pelaku pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM).
Di sisi lain, Kiki justru menganggap
rencana itu tidak rasional, dan justru memiliki risiko tinggi.
Pria kelahiran Karawang, 22 April 1947, itu menilai, rencana pembentukan massa tandingan
bisa membuat pergolakan semakin besar dan sulit diatasi.
Kiki pun tetap berpegang pada prinsip
operasi yang ada di Korem 164/WD, yakni operasi gerilya.
Dalam satu waktu, Prabowo yang
memimpin Operasi Melati tiba di markas Korem 164/WD untuk memaparkan rencana
Kopassus kepada Kiki.
Dalam pemaparannya, Prabowo
menjelaskan bahwa Operasi Melati difokuskan pada bidang intelijen dan
teritorial, semisal penggalangan pemuda, penggarapan bidang komunikasi, termasuk
pembentukan massa tandingan.
Setelah Prabowo selesai memaparkan
fokus Operasi Melati, Kiki pun angkat bicara. Apa yang diucapkan Kiki tentu
adalah keberatannya.
Menurutnya, strategi yang tepat untuk
menyelesaikan masalah di Timor-Timur adalah jalur diplomasi, dan bukan membuat
massa tandingan.
"Wo, Anda pasti paham bahwa
senjata ampuh kita bidang diplomasi. Sehingga kita masuk ke Timor-Timur dan kita masih berada di sini hingga saat ini adalah
argumentasi kita menyalahkan Portugis. Karena, mereka meninggalkan Timor-Timur
tanpa tanggung jawab sehingga terjadi perang saudara antara UDT dan
Fretilin," ujar Kiki.
"Nah sekarang kita mau membuat
massa tandingan menghadapi demonstran? Bukankah dengan
itu kita melakukan kesalahan yang sama, menciptakan perang saudara lagi,"
katanya.
Mendengar jawaban sang senior, Prabowo
--yang notabene adalah
junior Kiki-- tak terima dengan penjelasan tersebut.
Seperti yang disebutkan tadi, Prabowo
bersikukuh untuk membuat massa tandingan agar TNI terhindar dari tuduhan
pelanggaran HAM.
"Enggak bisa, Bang! Tidak ada jalan lain. Nanti ada tuduhan pelanggaran HAM
lagi kalau tidak segera kita bereskan," ucap Prabowo, membalas pernyataan Kiki.
Situasi memanas, Kiki kembali
melontarkan pertanyaan terkait risiko dari rencana pembentukan massa tandingan.
Sebagai Danrem, Kiki merasa dirinyalah
yang akan bertanggung jawab jika rencana Kopassus itu dilakukan dan menimbulkan
korban jiwa.
"Wo, lalu siapa yang bertanggung
jawab jika ada korban? Tetap saya bertanggung jawab, bukan kamu!" tanya
Kiki lagi kepada Prabowo, dengan nada tinggi.
Lagi-lagi Prabowo tak mau mengalah.
Abituren Akmil 1974 itu mendesak Kiki sebagai Danrem untuk mengatur penerapan
rencananya.
Prabowo bahkan berani menyebut Kiki
telah gagal menjalankan tugasnya sebagai Danrem, sementara kedatangannya ke
Timor-Timor diklaim untuk membantu tugasnya.
"Kan implementasinya bisa diatur,
bisa dikendalikan. Korem harus bisa mengendalikan. Abang selama ini telah
gagal, saya justru mau membantu Abang," balas Prabowo menjawab pertanyaan
Kiki, juga dengan suara keras.
Mendengar pernyataan Prabowo, Kiki
semakin naik pitam. Kiki tetap bersikeras bahwa rencana itu memiliki risiko
yang tinggi.
Kiki juga yakin, konflik akan semakin
meluas dan tidak akan bisa dikendalikan.
"Apa, saya gagal? Wo, mana
mungkin bisa dikendalikan. Kalau sudah jatuh korban, pasti perkelahian meluas
dan akan menjalar ke daerah lain," ucap Kiki lagi.
Merasa tidak mendapatkan persetujuan,
Prabowo pun langsung meninggalkan ruangan Kiki.
Melihat Prabowo pergi begitu saja,
Kiki pun tidak mengambil langkah apa-apa. Sebab, Kiki tahu,
sang junior memiliki watak dan keinginan yang sangat keras.
Di sisi lain, perdebatan antara dua
Perwira Menengah (Pamen) TNI Angkatan Darat itu justru disaksikan oleh Panglima
Komando Daerah Militer IX/Udayana, Mayjen TNI Adang Ruchiatna.
Seperti halnya Kiki, Adang pun tahu
karakter Prabowo. [qnt]