WAHANANEWS.CO, Jakarta - Guncangan besar melanda Kabinet Merah Putih ketika Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberhentikan Immanuel Ebenezer, atau yang akrab disapa Noel, dari jabatannya sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan.
Surat pemberhentian itu ditandatangani langsung oleh Presiden pada Jumat (22/8/2025).
Baca Juga:
Presiden Prabowo dan Jajaran Menteri Gelar Rapat di Hambalang, Bahas Pertanian hingga Investasi Nasional
Keputusan tegas ini diambil setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Noel sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
“Bapak Presiden telah menandatangani pemberhentian Saudara Immanuel Ebenezer,” ungkap Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi pada Jumat (22/8/2025).
Prasetyo menegaskan, pemerintah menyerahkan seluruh proses hukum kepada KPK untuk ditindaklanjuti hingga tuntas.
Baca Juga:
Hasil Survei ISS: 78 Persen Publik Puas Kinerja Pemerintahan Presiden Prabowo
“Pemerintah menghormati proses hukum yang dilakukan oleh KPK sesuai dengan aturan yang berlaku,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kasus ini harus menjadi peringatan keras bagi pejabat negara di Kabinet Merah Putih agar tidak terjerat praktik korupsi.
“Kami berharap ini jadi pembelajaran bagi kita semua, terutama Kabinet Merah Putih dan pejabat pemerintah lainnya. Sekali lagi, Presiden Prabowo berupaya keras dalam memberantas tindak pidana korupsi,” tegasnya.
Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan di Jakarta yang menjaring 14 orang, termasuk Noel.
Dari jumlah itu, 11 orang ditetapkan sebagai tersangka, sementara 3 orang lainnya dilepaskan karena tidak terbukti terlibat.
Para tersangka kini ditahan di rumah tahanan KPK untuk 20 hari ke depan.
Dalam operasi itu, KPK juga menyita barang bukti berupa uang tunai miliaran rupiah, 15 unit mobil, serta tujuh sepeda motor.
Ketua KPK Setyo Budianto menjelaskan bahwa dugaan pemerasan ini berkaitan dengan pengurusan sertifikasi K3 di Kementerian Ketenagakerjaan.
Menurut Setyo, biaya resmi sertifikasi K3 hanya sebesar Rp275 ribu.
Namun, di lapangan pekerja diminta membayar hingga Rp6 juta agar proses bisa berjalan lancar.
“Ketika kegiatan tangkap tangan, KPK menemukan bahwa dari tarif sertifikasi K3 sebesar Rp275.000, fakta di lapangan menunjukkan para pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp6.000.000,” kata Setyo pada Jumat (22/8/2025).
Ia menyebut modus yang digunakan adalah memperlambat, mempersulit, atau bahkan menolak permohonan sertifikasi jika tidak ada pembayaran tambahan.
“Biaya sebesar Rp6.000.000 itu bahkan dua kali lipat dari rata-rata UMR yang diterima para pekerja kita,” ujarnya dengan nada kecewa.
Setyo menekankan bahwa sertifikasi K3 merupakan syarat wajib bagi tenaga kerja di bidang tertentu untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan produktif.
“Pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja harus dilakukan oleh personel K3 yang memiliki sertifikasi kompetensi dan lisensi resmi,” jelasnya.
Ia menambahkan, penanganan kasus ini diharapkan menjadi momentum penting dalam upaya pencegahan korupsi di sektor ketenagakerjaan.
“Tenaga kerja merupakan tulang punggung perekonomian negara. Kualitas dan ketangguhan tata kelola sistem ketenagakerjaan adalah kunci dalam upaya meningkatkan ekonomi nasional,” tutur Setyo.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]