WahanaNews.co | Pakar
psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk buka suara soal tes
wawasan kebangsaan (TWK) yang digelar oleh KPK bersama BKN dan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kempan RB) beberapa
waktu lalu.
Baca Juga:
Didominasi Penegak Hukum, MAKI: Pimpinan Baru KPK Tak Mewakili Masyarakat dan Perempuan
Menurutnya, sebagai alat ukur, TWK bisa dibuktikan secara
ilmiah.
"TWK dapat dibuktikan secara ilmiah, tetapi perlu
dipilah aspek mana saja yang bisa diungkap ke publik dan mana yang tidak bisa
sehingga dapat dibuktikan tingkat efikasi dari tools tersebut memiliki tingkat
validitas yang cukup baik," kata dia, di Jakarta, Jumat (28/5/2021).
Hal tersebut disampaikan Ketua Laboratorium Psikologi
Politik UI itu menyusul polemik 51 pegawai KPK yang diberhentikan karena tidak
lolos TWK alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang
terus bergulir.
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
Hamdi mengatakan, TWK yang digelar untuk pegawai KPK menjadi
tolok ukur kepribadian seseorang terkait kebangsaan mulai dari ideologi
radikalisme, intoleransi, ideologi liberalisme hingga sosialisme.
"Bahwa alat ukur TWK itu tidak hanya untuk mengukur
ideologi radikalisme terorisme atau intoleransi, tetapi ideologi liberalisme,
komunisme, sosialisme itu juga jadi aspek yang bisa diukur," tutur-nya.
Senada dengan itu, Kepala Laboratorium Psikologi Universitas
Bina Nusantara, Istiani mengatakan, TWK KPK sudah sesuai kaidah psikometri
serta memiliki tingkat validitas yang baik.
"Penyusunan instrumen TWK sudah melalui prosedur
psikologi yang ketat dan panjang sejak 2012, sehingga TWK sudah sesuai dengan
kaidah psikometri dan memiliki tingkat validitas yang baik," ucap dia.
Jokowi Diminta Tak Terjebak dengan Permintaan Koalisi Guru
Besar Soal Pengaktifkan Kembali 75 Pegawai KPK
Namun, menurut dia, bila publik merasa janggal akan hasil
TWK tersebut maka BKN perlu membuktikan secara ilmiah termasuk detail mekanisme
penyelenggaraan tes itu.
Pakar aliansi kebangsaan Yudi Latief menambahkan bahwa TWK
memang perlu diterapkan dalam mekanisme tes alih status pegawai menjadi ASN.
Ia menyampaikan bagaimana Pancasila menjadi satu keutuhan
yang pelaksanaannya harus dipaksa kepada ASN oleh negara. Hal itu bertujuan
agar moral anak bangsa tetap terjaga untuk NKRI.
"Pancasila merupakan civil religion atau agama publik.
Penafsiran-nya harus dilakukan oleh negara dan pelaksanaannya harus dipaksa
oleh negara. Masyarakat tetap bisa menafsirkan Pancasila namun harus tetap
dalam bingkainya," katanya.
Lebih jauh, tentunya akan ada konsekuensi tertentu ketika
warga negara tidak seiring dengan Pancasila. Negara perlu mengupayakan
bagaimana moral publik itu dilaksanakan secara sukarela sehingga tidak terpaksa
dan menjadi suatu kebutuhan.
"Begitu pula bagaimana kita harus berkolaborasi sebagai
anak bangsa dan warga negara dalam menjaga keutuhan NKRI agar tidak terjadi
disintegrasi bangsa," ujarnya. [dhn]