WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDI-P, Bonnie Triyana, menegaskan penolakannya terhadap usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, yang masuk dalam daftar 40 nama calon penerima gelar tahun ini.
Menurut Bonnie, langkah tersebut justru dapat menimbulkan kekeliruan moral publik dan mengaburkan standar etika bagi generasi muda tentang sosok pemimpin yang seharusnya menjadi teladan bangsa.
Baca Juga:
Soeharto dan Gus Dur Berpeluang Jadi Pahlawan Nasional, Ini Syarat Diusulkan Kemensos
“Menurut hemat saya, ya kita harus tolak, saya sendiri menolak,” ujarnya tegas, dikutip dari Kompas.id.
Ia menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia selama ini berharap adanya standar jelas tentang sosok pemimpin publik yang ideal, yaitu mereka yang tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) maupun praktik korupsi.
“Selama ini, kan, kita selalu ingin ada satu standar tentang bagaimana sih menjadi pemimpin publik yang demokratis, yang menghargai manusia, sehingga ketika seorang menjadi pemimpin publik, ya tidak ada pelanggaran HAM, tidak ada korupsi, itu sudah clear. Kalau tokoh yang berkuasa selama 30 tahun dijadikan pahlawan, anak muda akan kehilangan ukuran. Mereka bisa berpikir, ‘Oh, yang seperti ini pun bisa jadi pahlawan’,” kata Bonnie.
Baca Juga:
Mensos Saifullah Yusuf Sebut Usulan Gelar Pahlawan untuk Soeharto Datang dari Masyarakat
Ia menilai bahwa menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional akan menjadi kontradiksi besar terhadap semangat reformasi yang lahir untuk membatasi kekuasaan dan menolak praktik otoritarian.
“Kita membatasi kekuasaan justru karena pengalaman di masa itu. Kalau sekarang tiba-tiba Soeharto dijadikan suri teladan, lalu reformasi itu untuk apa? Ini, kan, juga mencederai cita-cita reformasi itu sendiri,” tuturnya.
Bonnie mengakui bahwa Soeharto memang tokoh besar bangsa, tetapi ia menegaskan bahwa fakta sejarah mengenai pelanggaran HAM dan praktik korupsi pada masa Orde Baru tidak dapat diabaikan begitu saja.
“Kalau pemberian gelar ini, kan, kemudian menjadi menyingkirkan pandangan-pandangan kritis terhadap masa lalunya dan mengakhiri diskusi itu sendiri. Kita juga kehilangan standar moral publik. Suara-suara korban harus didengarlah,” ujarnya menambahkan.
Sementara itu, Menteri Sosial (Mensos) RI Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menyatakan bahwa usulan agar Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional sudah melewati proses yang panjang dan cermat.
Ia menjelaskan, pada Kamis (23/10/2025), bahwa usulan tersebut telah muncul sejak masa jabatannya sebagai Mensos dan telah melalui sejumlah sidang pembahasan oleh tim ahli.
"Jadi ini juga sudah dibahas oleh tim secara sungguh-sungguh. Berulang-ulang mereka melakukan sidang, telah melalui proses itu," kata Gus Ipul di Kantor Kemensos, Jakarta.
Ia menegaskan bahwa 40 nama yang diusulkan ke Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, termasuk Soeharto, telah memenuhi syarat formil yang ditetapkan oleh pemerintah.
"Nah semuanya nanti tergantung di Dewan Gelar. Tetapi yang kita lihat di sini adalah syarat-syarat formilnya telah mencukupi," ujarnya.
Gus Ipul juga menekankan bahwa pemerintah menghargai segala bentuk perbedaan pendapat, baik dari pihak yang mendukung maupun yang menolak usulan tersebut.
"Dan kami kita semua menghargai segala perbedaan pendapat yang ada baik yang ada di dalam tim sendiri, maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat. Semua pendapat tentu dijadikan pertimbangan," katanya lagi.
Proses penentuan nama-nama calon pahlawan nasional ini, lanjutnya, tidak hanya dilakukan oleh Kemensos, melainkan juga dengan mendengarkan pandangan dari berbagai tokoh dan kalangan akademisi.
"Tetapi apa yang kita lakukan ini semuanya telah melalui berbagai pertimbangan. Bukan saya sendiri, tapi ada tim dan timnya juga dari berbagai kalangan, akademisi ada, tokoh agama ada, dan juga perwakilan-perwakilan dari daerah juga ada," tutup Gus Ipul.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]