Petani membutuhkan perusahaan sebagai penampung TBS dan PKS mebutuhkan TBS pekebun sebagai bahan baku, sebab jumlah TBS milik perusahaan tidak mencukupi kebutuhan PKS terlebih saat masa buah trek.
Bahkan Heru mengakui saat harga TBS jatuh, petani yang melakukan kemitraan baik pola inti plasma atau pola kemitraan melalui koperasi harganya relatif stabil, atau sekalipun harga TBS-nya mengalami penuranan tidak jatuh secara drastis jika dibandingkan dengan petani yang tidak melakukan kemitraan dengan perusahaan.
Baca Juga:
Pemerintah Gelontorkan Rp8,5 Triliun untuk Peremajaan Sawit dari 2017 hingga 2023
Heru mengatakan, perusahaan diharapkan bisa membantu dalam mewujudkan PSR dari mulai rekomendasi petani binaannya, petani memasok PKS mitra melalui koperasi ataupun melalui pola inti-plasma, sehingga PSR bisa terlaksana dengan cepat.
“Kemudian perusahaan juga bisa membantu dalam menyediakan benih, atau bahkan bisa dituangkan dalam kerjasama PSR tersebut,” terang Heru.
Sementara itu, Kepada Dinas Pertanian dan Perkebunan, Provinsi Aceh, Cut Huzaaimah menyambut baik adanya porgram PSR dan bantuan sarana dan prasarana (Sarpras) yang diluncurkan oleh BPDPKS yang melibatkan lintas Kementerian dan Lembaga seperti Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Baca Juga:
Bantuan PSR Rp 90 Miliar untuk Petani Sawit Sanggau Masih Proses Verifikasi
Luas perkebunan di Aceh saat ini ada sekitar 1 juta hektar (Ha). Dari angka tersebut seluas 50 persenya adalah perkebunan kelapa sawit dan dari 50 persen tersebut seluas 47 persennya adalah perkebunan kelapa sawit milik perusahaan dan sisanya milik petani perkebunan (pekebun) kelapa sawit.
Rekomtek di Aceh untuk PSR tahun 2018 sekitar 3 ribu Ha, tahun 2019 sekitar 13 ribu Ha, tahun 2020 sekitar 12 ribu Ha, dan 2021 sekitar 2 ribu Ha, dan 2022 1 per Juni sudah 148 Ha.
“Tahun 2020 agak turun karena sedang pemeriksaan aparat penegak hukum (APH). Kemudian kita pelajari kembali surat bebas kawasan hutan bersama DLHK (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” jelas Cut Huzaaimah.