WahanaNews.co | Kebijakan pemerintah yang berencana membuka
impor beras sebanyak 1 juta ton pada tahun ini, menuai polemik.
Hingga
akhirnya Presiden Joko Widodo alias Jokowi meminta perdebatan dihentikan, agar tak semakin menekan harga
gabah petani.
Baca Juga:
Ombudsman RI: Pemerintah Diminta Kaji Ulang Kebijakan Impor Beras
Kebijakan
impor beras pertama kali diketahui dari bahan paparan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, saat menjadi pembicara pada rapat kerja nasional Kementerian
Perdagangan (Kemendag).
Saat
itu, Airlangga hanya mengatakan, pemerintah perlu menjaga stok beras di Perum Bulog sebanyak
1 juta - 1,5 juta ton.
Namun,
paparannya menjelaskan upaya pemenuhan stok itu di antaranya dengan impor beras.
Baca Juga:
Pemerintah Bakal Impor 3 Juta Ton Beras di 2024
Dalam
paparannya, pemerintah akan melakukan dua kebijakan untuk penyediaan beras
dalam negeri, setelah adanya program bantuan sosial (bansos) beras PPKM dan
untuk antisipasi dampak banjir dan pandemi Covid-19.
Pertama,
dengan melakukan impor beras sebanyak 500.000 ton untuk cadangan beras
pemerintah (CBP) dan 500.000 ton lagi sesuai kebutuhan Bulog.
Kedua,
dengan penyerapan gabah oleh Bulog dengan target setara beras 900.000 ton saat
panen raya pada Maret-Mei 2021 dan 500.000 ton pada Juni-September 2021.
"Pemerintah
melihat komoditas pangan itu penting. Sehingga salah satu yang penting adalah
penyediaan beras dengan stok 1 juta - 1,5 juta ton," ujar Airlangga, dalam rakernas Kemendag 2021,
Kamis (4/3/2021).
Secara
terpisah, Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi, mengungkapkan,
impor itu diperuntukkan menambah cadangan beras atau iron stock guna memastikan pasokan terus terjaga.
Stok
ini hanya akan dikeluarkan saat ada kebutuhan mendesak seperti bansos ataupun
operasi pasar untuk stabilisasi harga.
"(Impor)
ini bagian dari strategi memastikan harga stabil. Percayalah tidak ada niat
pemerintah untuk hancurkan harga petani terutama saat sedang panen raya,"
ujarnya, dalam konferensi pers virtual, Senin (15/3/2021).
Lutfi
mengatakan, opsi impor untuk memenuhi cadangan beras Bulog mencapai stok 1 juta - 1,5 juta ton sudah diputuskan sebelum dirinya menjadi Menteri
Perdagangan pada Desember 2020 lalu.
Saat
itu, sudah ada notulen rapat di tingkat kabinet yang meminta Bulog di tahun ini
menambah cadangan beras.
Pada
notulen disebutkan pengadaan beras bisa dipenuhi dari impor.
"Jadi
itu sudah ada sebelum saya datang (menjadi Mendag). Maka waktu saya datang,
saya melakukan penghitungan jumlahnya (stok beras pemerintah di Bulog),"
katanya, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Senin
(22/3/2021).
Menurut
perhitungannya, stok beras cadangan Bulog saat ini hanya sekitar 800.000 ton.
Sebanyak
270.000 - 300.000 ton dari stok tersebut
merupakan beras hasil impor tahun 2018 lalu.
Adapun
beras sisa impor itu berpotensi mengalami penurunan mutu.
Artinya,
tanpa menghitung beras sisa impor, maka stok beras Bulog hanya berkisar 500.000 ton.
Di sisi
lain, penyerapan gabah oleh Bulog belum optimal pada masa panen raya.
Hingga
pertengahan Maret, serapan gabah setara beras baru mencapai 85.000 ton dari
perkiraan harusnya 400.000 - 500.000 ton.
"Ini
menyebabkan stok Bulog pada saat ini jadi yang paling rendah dalam
sejarah," ujar Lutfi.
Kendati
demikian, rendahnya penyerapan tersebut bukanlah kesalahan Bulog.
Sebab,
ada aturan teknis yang mesti dipatuhi BUMN pangan itu dalam membeli gabah
petani.
Berdasarkan
Permendag Nomor 24 Tahun 2020, gabah yang bisa dibeli Bulog harus memiliki
kadar air maksimal 25 persen dengan patokan harga Rp 4.200 per kilogram.
Maka, hanya
gabah yang memenuhi syaratlah yang bisa diserap oleh Bulog.
Sementara, dengan
curah hujan yang tinggi saat ini, kualitas gabah petani rata-rata memiliki kadar air berlebih.
Di sisi
lain, lanjut Lutfi, Bulog setidaknya harus mengeluarkan beras sebanyak 80.000
ton per bulan atau 1 juta ton per tahun.
Sehingga, stok
cadangan beras perlu dijaga di kisaran 1 juta - 1,5 juta ton.
"Bulog
utamanya hanya mengandalkan operasi pasar untuk penyaluran beras, itu sekitar 1
juta ton per tahun makannya iron stock Bulog tidak boleh kurang 1 juta ton. Itu
logikanya," ujarnya, dalam konferensi pers virtual, Jumat (19/3/2021).
Kendati
demikian, ia menekankan, bila Bulog mampu menyerap beras petani dalam negeri
mencapai stok 1 juta - 1,5 juta ton, maka rencana impor tak perlu direalisasikan.
Sebab,
artinya sudah mencukupi untuk kebutuhan cadangan beras.
Lutfi
memastikan, pemerintah akan memperhatikan dinamika ke depan terkait pelaksanaan
kebijakan impor.
Jika
memang diperlukan, ia menjamin, impor beras tidak akan dilakukan saat panen
raya.
"Ini
adalah situasi yang dinamis. Saya jamin tidak ada impor saat panen raya. Hari
ini tidak ada beras impor yang menghancurkan harga petani, karena memang belum
ada yang impor," kata dia.
Lutfi
pun pasang badan jika ada yang harus disalahkan atas kegaduhan yang terjadi
akibat kebijakan impor beras.
Terutama
terkait adanya perbedaan pendapat di antara jajaran pejabat kementerian/lembaga
yang ditangkap publik selama ini.
Ia tak
ingin ada pihak-pihak yang menyalahkan Menko Perekonomian,
Airlangga Hartarto, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, atau pun Direktur Utama Bulog, Budi
Waseso (Buwas).
"Saya
minta tolong, kalau ada perbedaan, tanya saya. Saya akan berusaha adil dan fair. Jadi jangan salahkan Pak Menko, Pak Mentan, jangan salahkan
Dirut Bulog. Salahkan saya," kata Muhammad Lutfi, dalam
konferensi pers virtual, Jumat (19/3/2021).
Pandangan Bulog soal Impor Beras
Penugasan
impor beras ini memang diberikan kepada Bulog, kendati demikian Direktur Utama
Bulog, Budi Waseso, memiliki pandangan berbeda terkait kebijakan impor.
Ia
meyakini, produksi dalam negeri cukup untuk memenuhi pasokan beras Bulog.
Buwas,
sapaan akrabnya, mengaku dirinya tidak tahu menahu mengenai keputusan impor
beras 1 juta ton tersebut.
Menurut
dia, dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas) yang dihadirinya tak ada
pembahasan yang menyinggung impor beras.
Ia
menjelaskan, dalam rakortas yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian, Airlangga Hartarto, dan dihadiri sejumlah menteri, hanya membahas tentang
kesiapan jelang bulan puasa dan Lebaran dari segala aspek pangan, termasuk
beras.
Dalam
rapat dibicarakan mengenai prediksi panen dan ketersediaan beras.
Saat
itu, pihak Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pusat
Statistik (BPS) menyatakan, Maret-Mei 2021 merupakan masa panen raya,
sehingga produksi diproyeksi surplus.
Menurut
Buwas, langkah impor beras ini muncul setelah pihaknya secara tiba-tiba
menerima perintah dari Menko Airlangga dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.
"Waktu
rakortas, wacana impor itu enggak ada, karena rapat hanya bicarakan kesiapan
jelang puasa dan Lebaran dari segala aspek pangan. Tapi dalam proses
perjalanannya sekarang ada kebijakan impor," ungkapnya, dalam webinar PDIP, Kamis
(26/3/2021).
Mantan
Kabareskrim dan Kepala BNN itu menyatakan, dirinya meyakini proyeksi Kementan
dan BPS terkait produksi beras nasional akan surplus pada tahun ini.
Oleh
sebab itu dinilai tak perlu dilakukan impor beras.
Data
BPS menyebut, potensi produksi beras sepanjang Januari-April 2021 akan
mencapai 14,54 juta ton, naik 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan
periode sama di 2020 yang sebesar 11,46 juta ton.
Menurut
Buwas, sejak masa panen raya atau awal Maret hingga saat ini,
penyerapan Bulog sudah mencapai 145.000 ton.
Per 25
Maret 2021, stok beras di Bulog pun telah mencapai 923.471 ton, terdiri
dari CBP 902.353 ton dan beras komersial 21.119 ton.
Dia
memperkirakan, setidaknya hingga April serapan beras hanya untuk CBP bisa
mencapai 390.000 ton.
Sehingga, bila
diakumulasi dengan stok saat ini, total CPB pada akhir April sudah di atas 1 juta ton.
"Lalu
Mei akan serap lagi. Jadi kalau tadi stok (CBP) di Bulog itu harus 1 juta-1,5
juta itu amat sangat bisa (dari dalam negeri), tidak perlu impor,"
tegasnya.
Meski
ada penugasan impor, kata dia, Bulog akan terus memaksimalkan penyerapan beras
dalam negeri.
Pihaknya
bakal membeli beras di daerah yang produksinya melimpah dan akan menyuplai ke
daerah yang defisit beras.
Hal ini
guna memastikan seluruh daerah Indonesia terjamin kebutuhannya akan beras.
"Saya
ingin menjamin bahwa pangan itu aman, khususnya beras di seluruh Indonesia.
Saya berkeyakinan bahwa kita ini bisa swasembada pangan dan tidak perlu
buru-buru menyatakan impor," tegas Buwas.
Ombudsman: Ada Potensi Maladministrasi
Polemik
kebijakan impor beras ini pun mendapat perhatian Ombudsman RI.
Lembaga
itu melihat ada potensi cacat administrasi atau maladministrasi terkait
mekanisme pengambilan kebijakan impor beras sebanyak 1 juta ton.
Anggota
Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan, pihaknya meminta Menko Airlangga melakukan
kembali rakortas untuk menunda keputusan impor beras.
Setidaknya
penundaan hingga Mei 2021 guna mengetahui lebih dulu data valid mengenai hasil
panen raya dalam negeri dan pengadaan beras oleh Bulog.
"Ombudsman
meminta Kemenko Perekonomian untuk melaksanakan rakortas guna menunda keputusan
impor hingga menunggu perkembangan panen dan pengadaan oleh Bulog pada awal
Mei," tegas Yeka, dalam konferensi pers virtual, Rabu (24/3/2021).
Menurutnya,
Ombudsman tak melihat ada indikator yang mengharuskan keran impor dibuka, baik
itu dari sisi produksi maupun harga beras.
BPS
memproyeksikan produksi tahun ini akan sedikit lebih tinggi dari tahun lalu.
Di sisi
lain, total stok beras nasional saat ini mencapai lebih dari 5 juta ton yang
diyakini masih relatif aman.
Terdiri
dari Bulog 883.585 ton, penggilingan 1 juta ton, Pasar Induk Beras Cipinang
(PIBC) 30.600 ton, lumbung pangan masyarakat (LPM) 6.300 ton, rumah tangga 3,2
juta ton, serta hotel, restoran, kafe (horeka) 260.200 ton.
Begitu
pula dari sisi harga beras nasional yang berhasil terjaga stabil dalam tiga
tahun terakhir atau sejak pertengahan 2018 hingga 2020.
"Merujuk
data stok pangan dan potensi produksi beras nasional di 2021, Ombudsman menilai
bahwa stok beras nasional masih relatif aman, dan tidak memerlukan impor dalam
waktu dekat ini," jelas dia.
Yeka
pun menyoroti mekanisme pada rakortas dalam memutuskan kebijakan impor beras.
Sebab,
seharusnya rencana impor diputuskan berbasiskan data yang valid dengan
memperhatikan early warning system
atau sistem peringatan dini.
"Sehingga
kami melihat bahwa ini jangan-jangan ada yang salah dalam memutuskan kebijakan
impor," kata dia.
Presiden Jokowi Angkat Suara
Perdebatan
impor beras tersebut akhirnya membuat Presiden Jokowi angkat suara.
Ia
memastikan, pemerintah tidak akan mengimpor beras hingga Juni 2021.
Dia
mengakui, saat ini pemerintah memang telah memiliki nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan
Thailand dan Vietnam terkait impor beras.
Namun,
hal itu hanya untuk jaga-jaga di tengah situasi pandemi yang penuh dengan
ketidakpastian.
Jokowi
menyatakan, hingga saat ini beras tersebut belum masuk ke Tanah Air.
"Saya
tegaskan sekali lagi, berasnya belum masuk," ujarnya, ketika
memberikan keterangan, seperti dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Jumat
(26/3/2021).
Jokowi
pun menyatakan akan meminta Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati,
menyiapkan anggaran agar Bulog bisa menyerap lebih banyak beras dari petani.
Menurut
dia, hal itu dibutuhkan lantaran saat ini sedang memasuki masa panen raya dan
harga beras di tingkat petani masih rendah atau belum sesuai yang diharapkan.
"Saya
pastikan beras petani akan diserap Bulog dan saya akan segera memerintahkan
Menkeu agar membantu terkait anggaran," katanya.
Ia pun
meminta agar seluruh pihak tak lagi mempermasalahkan impor beras.
Menurut
Jokowi, perdebatan terkait impor beras yang tak kunjung rampung justru membuat
harga gabah di tingkat petani menjadi anjlok.
"Saya
minta segera hentikan perdebatan berkaitan dengan impor beras. Ini justru bisa
membuat harga jual gabah di tingkat petani turun atau anjlok," pungkas
Jokowi. [qnt]