WahanaNews.co | Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) meminta Kementerian Hukum dan HAM mendorong
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana masuk dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas.
Kepala
PPATK, Dian Ediana Rae, menyampaikan hal tersebut saat bertemu Menteri Hukum dan HAM,
Yasonna H Laoly, beserta jajarannya, di Kantor Kemenkumham, Senin (15/2/2021).
Baca Juga:
Bersama Timpora Kantor Imigrasi, Pemerintah Kota Bekasi Siap Awasi Pergerakan Warga Asing
"Sehubungan
dengan tidak adanya lagi pending issue,
PPATK meminta kesediaan Kemenkumham sebagai wakil pemerintah untuk mendorong
ditetapkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai RUU Prioritas Tahun
2021 atau setidaknya RUU Prioritas 2022," ujar Dian, dalam
keterangannya, Senin (15/2/2021).
Ia
menuturkan, RUU yang diinisasi oleh PPATK itu disusun pada 2008. RUU itu
kemudian selesai dibahas antarkementerian pada November 2010.
Kementerian/lembaga
yang terlibat dalam penyusunannya adalah Kemenkumham, PPATK, Kemenpan RB,
Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara, akademisi FH UI, Polri,
KPK, Kejaksaan Agung, dan tenaga ahli.
Baca Juga:
Menko Marves Sebut Prabowo Umumkan Susunan Kabinet 21 Oktober
"RUU
Perampasan Aset Tindak Pidana telah disampaikan kepada Presiden melalui surat
Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PP.02.03-46 tanggal 12 Desember 2011,"
ujar Dian.
Adapun
RUU itu dirumuskan dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention against Corruption (UNCAC) dan konsep
Non-Conviction Based Asset Forfeiture.
Dian
merinci, RUU itu memiliki tiga substansi utama, yakni unexplained wealth sebagai salah satu aset yang dapat dirampas
untuk negara, hukum acara perampasan aset, dan pengelolaan aset.
Menurutnya,
unexplained wealth merupakan aset
yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber
penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usulnya secara sah, dan
diduga terkait dengan tindak pidana.
Kemudian,
hukum acara perampasan aset dalam RUU disebut menekankan pada konsep negara
versus aset (in rem), yang juga
mengatur tentang perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik.
Terakhir,
menyoal pengelolaan aset, RUU merinci sembilan jenis kegiatannya, yakni
penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengembalian.
Apabila
RUU itu disahkan, PPATK menilai, dapat membantu pengembalian kerugian negara
dari hasil tindak pidana.
"Dan
akan memberi efek jera kepada pelaku dan deterrent
effect bagi calon pelaku kejahatan ekonomi," tuturnya. [dhn]