WAHANANEWS.CO, Jakarta - RUU Perampasan Aset kembali jadi sorotan tajam setelah Koalisi Masyarakat Sipil menekankan pentingnya batas jumlah harta yang bisa dirampas dalam tindak pidana serta aturan tegas mengenai harta tanpa asal-usul jelas atau unexplained wealth order.
Dalam Pasal 6 draf RUU Perampasan Aset per April 2023, disebutkan bahwa aset yang bisa dirampas bernilai paling sedikit Rp100.000.000 dan tindak pidananya diancam 4 tahun atau lebih.
Baca Juga:
Buruh Apresiasi Pemangkasan Tunjangan DPR tapi Ingatkan Masih Banyak PR Berat
“Batas ini penting untuk dibahas kembali untuk menyesuaikan dengan, misalnya, kondisi inflasi, nilai ekonomis, dan lain sebagainya,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (11/9/2025).
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Auriga Nusantara, Institute for Criminal Justice Reform, IM57+Institute, Kaoem Telapak, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.
Mereka menekankan perlunya aturan mengenai harta yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya karena hal ini menjadi konsep dasar dari illicit enrichment atau pengayaan ilegal.
Baca Juga:
Serikat Pekerja Tegaskan Dukungan untuk Presiden Prabowo, Dorong Pembahasan RUU Ketenagakerjaan dan Perampasan Aset
Jika seorang pejabat memiliki harta jauh melebihi pendapatannya dan tak bisa menjelaskan asal-usulnya, maka patut diduga harta tersebut berasal dari tindak pidana seperti suap atau gratifikasi.
“Unexplained wealth penting untuk diatur dalam RUU Perampasan Aset, sebab akan mempermudah pembuktian dugaan korupsi,” kata Wana.
Ia menambahkan bahwa KPK sudah memiliki instrumen Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang bisa dijadikan rujukan untuk menilai kenaikan harta pejabat dari tahun ke tahun dan mendeteksi potensi pengayaan ilegal.