WahanaNews.co | Kedutaan Uni Emirat Arab yang beralamat di Jalan Prof. DR. Satrio Nomor 7, Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan, diduga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak pada salah seorang mantan karyawannya bernama Ziad Albatta, yang sudah bekerja selama 6 tahun lebih.
Kepada WahanaNews.co, Kamis (24/11/22), Kuasa hukum Indra Gunawan menyebut sekitar dua pekan lalu, tepatnya hari Senin hingga Rabu (7-9/11/22) terjadi demo di depan kedutaan uni Emirat Arab selama 3 hari dari Pemuda Pembebas Bangsa. Tetapi hingga hari ini belum ada respons yang baik dari pihak UEA terkait tuntutan para pendemo.
Baca Juga:
Diduga Alami PHK Sepihak, Karyawan PT SBS Mengadu ke Disnaker Ende
Menurut pengakuan kordinator aksi Mega Radiawan, mereka bergerak karena merasa Kedutaan Uni Emirat Arab (UEA) telah memarginalkan Ziad Albatta.
Dua hal yang mereka minta kepada Uni Emirat Arab
"Pertama, bayar hak-hak saudara kami sesuai peraturan Indonesia atau angkat kaki. Kedua, hargai dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia," ujar Mega.
Baca Juga:
Ikuti Jejak Google, Spotify Siap-siap PHK Karyawan
"Jika kedutaan Uni Emirat Arab tidak mengindahkan suara kami, kami akan datang dengan jumlah masa yang lebih banyak supaya pihak kedutaan mau mendengar suara pribumi seperti kami," lanjut Mega.
Perkembangan kasus Ziad
"Kami sudah mengajukan permohonan tripartit kepada disnaker DKI Jakarta, alhamdulillah nanti pada tanggal 24 November 2023 akan terjadi tripartit dan pihak disnaker DKI Jakarta telah memanggil ziad selaku pemohon dan pihak kedutaan," ujar Indra.
"Bahwa pihak Ziad Albatta juga sudah memasukkan permohonan gugatan secara on line ke pengadilan Negeri Jakarta selatan," sambungnya.
Ia menilai hal ini dilakukan karena pihak kedutaan maupun kuasa hukumnya masih tidak mau tunduk dan patuh kepada hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Mereka selalu berpendapat bahwa kasusnya Ziad harus tunduk dan patuh kepada undang-undang Uni Emirat Arab (UEA), walaupun dari pihak kami (Ziad) sudah memberikan legal standing yang jelas dan gamblang. Sementara berdasarkan surat balasan dari lawyer pihak kedutaan, pihak kedutaan hanya mendalilkan alasan ziad harus tunduk pada peraturan UEA hanya berdasarkan perjanjian kerja," Ujar Indra.
"Mereka menutup mata terhadap hukum khusus yang di undangkan oleh negara UEA sendiri yaitu putusan menteri No 1-210 Tahun 2020, yang menyatakan jika terjadi pertentangan antara hukum antara hukum UEA dan hukum negara setempat, maka hukum negara setempatlah yang menjadi acuan," sambung Indra.
Menurut Ujar Fahrul Ulum, pemilik kantor hukum yang dikuasakan oleh Ziad Albatta seharusnya pihak UEA paham asas hukum lex specialis derograt legi generali, hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
"Entah mereka tidak memahami apa yang kami sampaikan atau mereka memang memandang sebelah mata hukum Indonesia," kata Ujar Fahrum.
WahanaNews sudah menghubungi pihak kedutaan dan juga lawyer pihak kedutaan, akan tetapi keduanya enggan memberikan pendapat terkait kasus Ziad Albatta.
Diberitakan sebelumnya, melalui kuasa hukumnya, Indra Gunawan, Ziad Albatta sudah melayangkan somasi sebanyak 3 kali.
"Kedutaan Uni Emirat Arab telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak terhadap klien kami. Pemecatan ini tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada, tidak ada SP1, SP2 dan SP3, dan tidak ada pelanggaran, tetapi langsung dipecat dengan alasan yang tidak jelas," kata Indra kepada WahanaNews.co di Jakarta, Sabtu (5/11/22).
"Oleh karena itu, kami telah mensomasi sebanyak 3 kali dan baru di respons setelah somasi ke 3, tetapi hingga hari ini belum ada realisasi dari balasan somasi tersebut," sambung Indra.
Ziad Albata sendiri berkewarganegaraan Palestina, ia mengaku kedutaan Uni Emirat Arab memutuskan hubungan kerja secara tidak manusiawi, yang dimana tidak mendapatkan pesangon dan pergantian uang pisah meski sudah mengabdi sekitar 6 tahun lebih.
"Selama saya bekerja tidak ada masalah dalam bekerja apapun dengan pihak kedutaan Uni Emirat Arab dan saya mengikuti semua aturan dan peraturan yang diterapkan," kata Ziad.
"Ini salah satu yang tidak manusiawi dalam pemberhentian, tidak ada SP 1,2,3 tapi langsung surat pemecatan, dan ada juga karyawan staff para pekerja lokal Indonesia yang diberlakukan sama seperti saya bahkan lebih kasar dengan ucapan dan makian yang didapat," sambung Ziad
Sehubungan dengan masalah pemutusan hubungan kerja secara sepihak tersebut, Ziad akan meminta dan menuntut hak-haknya atas pemberhentian pekerjaan sesuai dengan aturan dan peraturan hukum internasional maupun yang ada di Indonesia.
Kronologi
Kemudian, Indra Gunawan memaparkan kronologi dugaan pelanggaran hubungan kerja sepihak yang dilakukan Uni Emirat Arab.
Ia menjelaskan, berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam kontrak kerja yang telah disepakati oleh Kliennya dengan Kedutaan Uni Emirat Arab dalam pasal tujuh (7), "jika salah satu pihak tidak ingin memperbaharui kontrak ini, maka ia harus memberi tahu pihak lain secara tertulis setidaknya satu bulan sebelum berakhirnya masa kontrak, jika tidak maka secara otomatis akan dianggap diperbaharui untuk tahun berikutnya sesuai dengan ketentuan pasal kedua dalam kontrak ini”.
"Bahwa sampai dengan hari terakhir bekerja di kedutaan Uni Emirat Arab, Klien kami tidak pernah melakukan pelanggaran baik secara non-displiner ataupun pelanggaran dalam bentuk apapun. Sehingga secara otomatis seharusnya kontrak kerja klien kami diperpanjang sampai dengan 27 Januari 2023," ujar Indra.
"Pada hari Senin tanggal 18 Juli 2022, klien kami menerima Surat Pengumuman Tentang Penghentian Pelayanan/pekerjaan yang pada pokoknya surat tersebut berisikan perihal mengenai pemutusan hubungan kerja sepihak yang mulai efektif tertanggal 07 Juli 2022," sambungnya.
Lanjutnya menjelaskan, di dalam surat pemecetan tersebut, pihak kedutaan tidak memberikan alasan yang jelas dan spesifik mengenai pemecatan terhadap kliennya.
"Pihak kedutaan hanya memberikan dasar hukum pemecatan yang merujuk pada keputusan menteri Nomor (1-210) tahun 2020 yang berkenaan dengan sistem perekrutan pegawai lokal pada kantor-kantor misi perwakilan negara," kata Indra.
"Pihak kedutaan tidak mencantumkan alasan spesifik dasar hukum seperti pasal dan ayat dan/atau huruf berapa, yang menjadi dasar hukum pihak kedutaan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja tersebut," lanjut pengurus Pusat BPPH Pemuda Pancasila itu.
Isi dari pasal 2 keputusan menteri Nomor (1-210) tahun 2020, “Penerapan ketentuan dari sistem peraturan ini berlaku bagi seluruh pegawai lokal dalam kantor perwakilan, dan hal ini dilakukan tanpa menafikan hukum dan ketentuan yang berlaku di negara setempat dan ketika terjadi pertentangan hukum maka hukum setempat yang berlaku".
Sebelumnya, diwakili oleh kuasa hukumnya masing-masing telah bertemu untuk melakukan perundingan Bipartit pada tanggal 13 Oktober 2022.
Setelah pertemuan tersebut pihak kedutaan Uni Emirat Arab memberikan jawaban tertulis tertanggal 21 Oktober 2022 yang pada pokoknya menolak tunduk dan tidak mau mengikuti hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Bahwa berdasarkan pasal 1 Angka 4 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Jo Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa 'Pengadilan Hubungan Industrial berwenang memeriksa dan memutus perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan perwakilan negara asing yang ada di negara Indonesia dan tunduk kepada undang-undang ketenagakerjaan'," kata Indra.
"Berdasarkan 3 dasar hukum yang kami sebutkan ini sudah sepatutnya Pihak Kedutaan tunduk dan Patuh terhadap hukum positif yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia," tuturnya.
Hingga berita ini ditayangkan, kuasa hukum Uni Emirat Arab saat dikonfirmasi WahanaNews.co tidak memberikan tanggapan apapun. [ast]