WahanaNews.co | Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU
Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Otsus Papua)
resmi disahkan menjadi Undang-undang (UU) dalam Rapat Paripurna di
DPR, Kamis (15/7/2021).
Saat memberikan sambutan perwakilan
Pemerintah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Muhammad
Tito Karnavian, mengatakan, otonomi khusus di
Provinsi Papua telah berjalan selama 20 tahun.
Baca Juga:
Derap Pembangunan 23 Tahun Otonomi Khusus di Papua, Refleksi dan Capaian di Papua Barat Daya
Dalam perjalanannya, banyak hal yang
telah berhasil dicapai, namun ada pula yang perlu diperbaiki.
Salah satu contoh yang perlu
perbaikan, yaitu menyangkut pemerataan pembangunan antar kabupaten/kota di
Provinsi Papua dan Papua Barat.
Untuk itu, perlu diambil kebijakan
strategis di antaranya dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Baca Juga:
Derap Pembangunan 23 Tahun Otsus di Papua, Refleksi dan Capaian di Papua Barat Daya
Ia mengatakan, pembahasan RUU
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 ini merupakan upaya
bersama dan wujud komitmen Pemerintah, DPR dan DPD RI untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
"Dalam pembahasannya, kita
berpijak pada prinsip-prinsip untuk melindungi dan menjunjung harkat dan
martabat Orang Asli Papua dan melakukan percepatan pembangunan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua," kata Mendagri Tito.
Tito menjabarkan, sesuai dengan Surat
Presiden (Surpres) terkait pengajuan Rancangan Undang-Undang
ini, Pemerintah mengajukan perubahan hanya pada 3 pasal, yaitu
Pasal 1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 34 tentang Keuangan, dan Pasal 76 tentang
Pemekaran Daerah.
Namun, dalam
perkembangannya, mengikuti dinamika diskusi yang sangat produktif dan
berkualitas, serta mendengarkan aspirasi masyarakat, akhirnya Rapat Panitia
Khusus telah menetapkan perubahan atas 20 Pasal sebagai berikut: Sebanyak 3
Pasal usulan sesuai Surpres; Sebanyak 17 Pasal di luar usulan pemerintah
sebagaimana Surpres.
"Perubahan pada pasal-pasal
tersebut mencerminkan kebijakan afirmasi yang kuat terhadap Orang Asli Papua
sebagai perwujudan komitmen seluruh elemen bangsa," ucap Mendagri Tito.
Kebijakan afirmasi tersebut terdiri
atas 3 (tiga) kerangka utama, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Politik Afirmasi.
Perubahan Undang-Undang ini
menambahkan penyebutan untuk DPRD Kabupaten/Kota dengan DPRK dan menambahkan
unsur DPRK dari OAP melalui mekanisme pengangkatan dengan jumlah 1/4 dari
jumlah anggota DPRK yang dipilih dalam pemilihan umum, dan sekurang-kurangnya
30 persen dari unsur perempuan OAP.
Kedua, Afirmasi OAP di bidang Ekonomi.
Perubahan beberapa pasal dalam
Rancangan Undang-Undang ini menunjukkan keberpihakan
kepada OAP di bidang ekonomi.
Melalui undang-undang ini, dana
otonomi khusus ditingkatkan dari 2 persen menjadi 2,25 persen dengan perbaikan
dalam hal tata kelola.
Selain itu, di bidang ekonomi, telah
disepakati bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) Migas sebesar 70 persen untuk Provinsi
Papua Barat diperpanjang dari tahun 2026 menjadi 2041 untuk dipergunakan
semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.
Ia menambahkan, dengan dukungan
pendanaan dalam bentuk Dana Otsus dan Dana Bagi Hasil Migas tambahan, disertai
Dana Tambahan Infrastruktur dan Transfer ke Daerah lainnya diharapkan dapat
mendukung Pemerintah Daerah Papua mempercepat pembangunan di wilayah Papua.
Dalam upaya untuk mendorong
peningkatan pembangunan sektor prioritas, yaitu pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur, juga telah diatur besaran penggunaan Penerimaan
dalam rangka Otonomi Khusus untuk sektor-sektor prioritas tersebut.
"Dengan ketentuan ini, diharapkan
penggunaan Dana Otsus yang lebih tepat sasaran dan lebih memberikan dorongan
untuk kesejahteraan masyarakat Papua, khususnya Orang Asli Papua,"
imbuhnya.
Ketiga, Perbaikan tata kelola
pemerintahan.
Perubahan yang telah disepakati dalam
Rancangan Undang-Undang ini juga menekankan aspek perbaikan tata kelola
pemerintahan melalui peningkatan koordinasi dan pelaksanaan pengawasan yang
dilakukan oleh DPR, DPD, BPK dan Perguruan Tinggi Negeri serta pembentukan
Badan Khusus yang berada di bawah Presiden untuk melakukan koordinasi,
sinkronisasi, harmonisasi pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua.
Adapun bentuk lain dari perbaikan tata
kelola dalam Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua antara lain:
Pertama, adanya Rencana Induk (grand desain) untuk memberikan arah
pembangunan yang lebih jelas dan terukur; Kedua, Pembagian Dana Otsus menjadi
penggunaan bersifat umum (block grant)
dan penggunaan berbasis kinerja (specific
grant) agar penggunaan Dana Otsus lebih fokus dalam mencapai target kinerja
output dan outcome; Ketiga, Perbaikan mekanisme pembagian dan penyaluran Dana
Otsus yang langsung ke kabupaten/kota guna percepatan pemanfaatan Dana Otsus
bagi masyarakat Papua yang tersebar di seluruh penjuru kabupaten/kota.
Perbaikan tata kelola pemerintahan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Papua.
"Kami mengucapkan terima kasih
kepada seluruh pimpinan dan anggota DPR RI, khususnya
Pansus RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua, yang terhormat, Komite I DPD RI, seluruh Tim
Pemerintah dari 19 Kementerian/Lembaga, masyarakat, dan media, atas semangat
dan dukungannya, sehingga pembahasan RUU ini berjalan dengan lancar," ucap
Tito.
Selanjutnya, setelah RUU ini
diundangkan, pemerintah akan melakukan sosialisasi kepada stakeholders di tingkat pusat dan daerah, serta menyusun peraturan pelaksanaan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. [dhn]