WahanaNews.co | Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar Kembali menegaskan dampak positif dari Undang-undang Desa Nomor 6 tahun 2014 bagi pemerataan ekonomi desa yang berkeadilan.
Meningkatnya pemanfaatan dana desa dan serta beberapa indikator perekonomian level desa mempertegas hal tersebut.
Baca Juga:
Pengambilan Sumpah PNS Baru di Kemendes PDTT, Ini Pesan Gus Halim
“Dana Desa tahun 2021 ada peningkatan. Tahun 2020 Rp71 triliun, naik menjadi Rp72 triliun pada tahun 2021. Penyerapannya juga bagus, tahun 2021 mencapai 99,80 persen atau setara Rp71,85 triliun. Disaat yang sama, Begitu juga tingkat kemiskinan, pendapatan dan tingkat ketimpangan ekonomi, ada progress. Ini modal penting kita menatap tahun 2022,” tegasnya, beberapa waktu lalu.
Gus Halim menceritakan Dana Desa adalah amanah dari undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 72 Ayat 2 UU Nomor 6 Tahun 2014. Sebagai salah satu dari pendapatan desa, maka pemerintah pusat berkewajiban mengalokasi Dana Desa dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Menurut Gus Halim, peningkatan pemanfaatan Dana Desa sudah pasti akan berdampak pada naiknya APBdes.
Baca Juga:
Gus Halim: Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Kades Muncul dari Arus Bawah
Sebagai informasi, sumber pendapatan Desa berasal dari Pendapatan Asli Desa (PADes), Bagi hasil dan Retribusi, Dana Desa sendiri, Alokasi Dana Desa dan Bantuan Keuangan hingga hibah atau sumbangan yang tidak mengikat.
Pada tahun 2014 atau sebelum ada Dana Desa, rata-rata APBDes per desa itu Rp329 juta/desa. Tahun 2015 saat Dana Desa dikucurkan langsung melesat menjadi Rp701 juta/desa, bahkan pada tahun 2021, rata-rata APBDes melonjak hingga Rp1,6 Miliar/desa.
"Sepanjang pandemi, APBDes masih meningkat dari total Rp117 triliun pada 2019 menjadi Rp121 triliun pada 2021. Dalam hal ini, tentu yang harus diperhatikan adalah bagaimana menjaga supaya pemanfaatan tersebut tetap di koridor yang diharapkan, menjadi PR bersama seluruh elemen bangsa di Indonesia. Dengan anggaran yang meningkat maka desa dapat mengembangkan kualitas dan kesejahteraan masyarakatnya," katanya
Terkait indikator tingkat kemiskinan, pendapatan dan tingkat ketimpangan ekonomi, Gus Halim mengakui pandemi Covid-19, telah berdampak luar biasa pada aspek sosial, ekonomi, dan keuangan selain dampaknya terhadap aspek kesehatan masyarakat.
Salah satu penanggulangannya adalah dengan PKTD dan BLT Dana Desa yang merupakan program jaring pengaman sosial untuk pemulihan ekonomi masyarakat yang terdampak. Sepanjang pandemi Covid-19, tingkat pengangguran terbuka di desa tetap rendah, dan hanya naik dari 3,92% menjadi 4,71%. Padahal di kota naik dari 6,29% menjadi 8,98%.
Begitu juga tingkat kemiskinan di desa bahkan sempat menurun dari 12,85% pada 2019 menjadi 12,82% pada 2020, sebelum naik sedikit menjadi 13,10% pada 2021. Padahal di kota naik terus dari 6,69% pada 2019 menjadi 7,89% pada 2021.
“Pendapatan warga desa tetap meningkat dari Rp882.829 perkapita/bulan menjadi Rp 971.445 perkapita/bulan.
Sementara itu, ketimpangan ekonomi di desa tetap terjaga rendah dan terus merata, dari indeks Gini 0,320 pada 2019 menjadi 0,315 pada 2021. Walau di tengah badai pandemi, ada progres positif,” tegasnya.
Terakhir, Gus Halim mengajak semua stakeholder desa untuk memberikan yang terbaik bagi desa.
Gus halim juga menghimbau penggunaan Dana Desa di tahun 2022 harus bermanfaat dalam wujud nyata untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pasalnya, dana desa memiliki potensi luar biasa lebih dari sekedar pembangunan infrastruktur.
“Untuk 2022, harapan saya, penggunaan dana desa sudah harus mampu memamerkan, menunjukkan outcomenya, berupa berapa sih warga miskin biasa yang terentaskan, berapa sih persentase pertumbuhan ekonomi warga desa, berapa persen pengangguran desa dapat tertangani hingga seberapa besar kontribusi dana desa menahan angka putus sekolah di desa.” pungkasnya. [qnt]