SEHARIAN, Senin (7/12/2020), semua platform informasi, dari yang resmi sampai tingkat "emperan",
disibukkan dengan kabar bentrok aparat kepolisian versus Laskar FPI di Tol
Jakarta-Cikampek Km 50.
Berbagai
versi informasi pun beredar. Terbelah pada dua kutub besar, versi Polri dan
FPI.
Baca Juga:
HRS Sebut ‘Negara Darurat Kebohongan’, Pengacara: Itu Dakwah
Keyakinan
saya, setiap kali ada dua versi besar dari sebuah informasi, terlebih bila
mengandung perbedaan yang amat signifikan, salah satu dari versi itu biasanya
berisi kebohongan.
Artinya,
dari berbagai platform informasi yang
ikut meramaikan peristiwa tersebut, sebagian di antaranya --mungkin juga
semuanya-- pasti turut menayangkan versi yang bohongnya.
Bagi media,
selama ada mulut yang berbicara di sana, tidaklah masalah. Media hanyalah
panggung, mulut itulah aktornya. Mana mungkin sebuah "panggung" bisa
disalahkan.
Baca Juga:
Habib Rizieq Bebas, Ini Respon Pecinta HRS di Majalengka
Apalagi,
ketika pertunjukan itu digelar, para pengelola panggung sendiri belum tahu mana
yang fakta dan mana yang bohong.
Tiba-tiba
saja, saya teringat pada salah satu artis peran, yang biasa mengisi
panggung-panggung teater nasional, bahkan internasional. Namanya: Ratna
Sarumpaet.
Akting
hebatnya, termasuk kepiawaiannya menyusun skenario drama, membuat seorang Calon
Presiden sekahot Prabowo Subianto, juga jajaran pendukungnya yang berisi
tokoh-tokoh politik senior, terkecoh.
Di tengah
suasana Pilpres 2019 yang memang panas, dengan hanya ada dua kandidat di sana,
pementasan Ratna Sarumpaet tadi --yang mengaku mengalami penganiayaan sadis
hingga mukanya tak berbentuk-- secara otomatis menjadi semacam atraksi politik.
Tanpa
dinyatakan secara eksplisit pun, momen itu dimanfaatkan banyak pihak, terutama
yang sekubu dengan Ratna Sarumpaet dalam pilihan politiknya, untuk menyudutkan
kompetitornya di panggung Pilpres 2019.
Minus
penelusuran mendalam, hanya dengan mengandalkan rasa percaya terhadap reputasi
Ratna Sarumpaet, rombongan tokoh nasional kahot pun menggelar konferensi pers,
lalu menyampaikan berbagai insinuasi yang sarat tendensi untuk melemahkan lawan
politik mereka, yang kebetulan merupakan petahana.
Tiba-tiba
saja, hanya dalam hitungan hari, situasi itu berbalik. Sebuah skenario besar
terbongkar. Ratna Sarumpaet terbukti berdusta. Ngarang cerita. Lalu minta maaf,
dengan deraian airmata. Operasi muka ngaku dianiaya.
Bukan
mustahil, momentum itu --sedikit-banyak-- ikut berpengaruh terhadap
kredibilitas Prabowo Subianto di mata para calon pemilihnya.
Memang,
belum tentu juga ulah Ratna Sarumpaet itu menjadi satu-satunya faktor yang
menyebabkan kekalahan Prabowo pada Pilpres 2019. Tetapi, setidaknya, ada fakta
yang tak terbantahkan bahwa Ratna Sarumpaet adalah "orang yang salah" dalam
gerbong Prabowo.
Kembali ke
perkara Polri vs FPI. Siapa yang berbohong?
Pada
skandal Ratna Sarumpaet, hanya ada satu pihak yang gencar menggelar konferensi
pers sebelum faktanya terbongkar. Sementara pihak yang satunya lagi sibuk
"bekerja" memburu fakta.
Kini, kedua
belah pihak, Polri dan FPI, sama-sama bergerak kilat menggelar konferensi pers
dan menyampaikan pernyataan tertulis.
Jadi, bukan
mustahil, dalam perburuan faktanya, kedua belah pihak jualah yang bakal
sama-sama riuh "bekerja".
Bahwa pada
kedua perkara itu, baik skandal Ratna Sarumpaet maupun Polri vs FPI, aksi
konferensi pers dijadikan sebagai sarana, hal itu semakin membuktikan
efektivitas dari peran media dalam membantu penyebaran sebuah kebohongan untuk
motif apapun.
Jadi,
singkatnya, pers memang selalu dilibatkan dalam sebuah kebohongan publik.
Namun, tidak semua kebohongan publik bersumber dari keterlibatan pers.
Maka,
tamengnya, regulasi pers mewajibkan hakikat objektivitas melalui formula cover both side, tidak sepihak. Selama
itu terpenuhi dan terlaksana, maka pers memang betul-betul menjalankan
fungsinya sebagai "panggung", tak sekaligus ikut "berakting" di atasnya.
Tentang
siapa yang kelak bakal menjadi the next
Ratna Sarumpaet, apakah Polri atau FPI, saya yakin pers pun bakal kembali
dilibatkan.
Ketika
semua faktanya terungkap, sarana konferensi pers pasti bakal dijadikan sebagai
(salah satu) perangkat terdepan yang digunakan.
So, sabarlah, meski mungkin takkan sekilat pada skandal Ratna Sarumpaet,
tapi pasti bakal ada sebuah konferensi pers "susulan" yang mengguncang publik
terkait bentrok Polri vs FPI ini.
Teknologi
satelit digital adalah "mata" yang tak terbantahkan untuk zaman sekarang.
Yakinilah, kecuali kita sudah memasuki sebuah zaman yang baru lagi" (Yukie H. Rushdie, Dewan Redaksi WahanaNews.co)