WAHANANEWS.CO, Jakarta - Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran menilai, proyek pemerintah daerah dalam mengolah sampah menjadi energi listrik sebaiknya tak hanya berfokus pada penyediaan infrastruktur dan investasi teknologi.
MARTABAT Prabowo-Gibran menegaskan bahwa kesiapan sumber daya manusia (SDM) menjadi kunci utama agar program pengelolaan sampah berbasis energi tidak berhenti sebagai proyek formalitas semata.
Baca Juga:
Hadirkan Pemerataan Akses Listrik Bagi Seluruh Rakyat, ALPERKLINAS Dorong BUMN Lainnya dan Swasta Ikuti Program PLN Beri Bantuan 8000 Listrik Gratis pada HLN 2025
Ketua Umum MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan SDM teknis yang lahir dari sistem pendidikan vokasi yang terarah, bukan sekadar tenaga pendukung.
“Kalau kita hanya membangun pabrik atau mesin konversi sampah tanpa mencetak anak-anak muda yang paham pengolahan, pemeliharaan, dan bisnis energi dari sampah, maka program ini hanya akan jadi proyek mercusuar,” ujar Tohom, Minggu (19/10/2025).
Menurut Tohom, gagasan pendirian SMK Pengolahan Sampah dan Energi harus mulai dilirik pemerintah, terutama di daerah-daerah yang tengah mengembangkan proyek Waste to Energy (WtE).
Baca Juga:
PLN Terbangkan Genset Tambahan ke Aceh untuk Percepat Pemulihan Listrik
Ia menilai, pendidikan vokasi berbasis teknologi tepat guna akan melahirkan lulusan yang mampu merancang mesin penghancur sampah, mengelola bank sampah secara profesional, hingga membangun model bisnis ekonomi sirkular yang berkelanjutan.
“Di sektor ini, anak muda tidak hanya diajari mengolah sampah, tapi juga diajarkan bagaimana menjadikan sampah sebagai sumber energi dan sumber ekonomi,” tambahnya.
Tohom mengungkapkan bahwa sekolah kejuruan semacam ini tidak boleh hanya mengajarkan teori, tetapi juga praktik nyata yang langsung terhubung dengan industri dan masyarakat.
“Bayangkan jika tiap kabupaten memiliki SMK yang bisa merakit mesin sekelas karya siswa SMK Kuningan yang menciptakan Medusa atau Mesin Duruk Sampah. Itu bukan hanya prestasi, tapi bentuk kesiapan bangsa menghadapi krisis sampah dan energi,” ujarnya.
Tohom yang juga Pengamat Energi dan Lingkungan ini mengatakan bahwa pemerintah harus mengubah pendekatan dari membangun fasilitas ke membangun ekosistem.
Menurutnya, ketika anak-anak muda dilibatkan dalam pengolahan sampah melalui unit produksi sekolah dan bank sampah berbasis bisnis, maka masyarakat tidak lagi melihat sampah sebagai beban, tetapi sebagai sumber peluang.
“Dengan kurikulum 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan praktik langsung, siswa bisa menjadi pelopor ekonomi hijau di tingkat lokal. Mereka tidak hanya bekerja, tapi menciptakan lapangan kerja,” tegasnya.
Ia juga meminta agar proyek pengolahan sampah tidak dimonopoli oleh investor besar saja, tetapi membuka ruang bagi inovasi lokal dan partisipasi warga.
“Kalau anak SMK sudah bisa merakit mesin pemusnah sampah senilai Rp75 juta dan siap dijual ke desa-desa, artinya potensi kita luar biasa. Pemerintah tinggal memberi arah, dukungan, dan kurikulum yang visioner,” kata Tohom menyoroti pentingnya pemberdayaan generasi muda.
Tohom memastikan bahwa MARTABAT Prabowo-Gibran siap mengawal narasi transisi energi berbasis partisipasi masyarakat, bukan hanya proyek-proyek besar yang sulit diakses warga.
“Kedaulatan energi dimulai dari lingkungan terkecil. Dan itu hanya bisa terwujud jika anak-anak muda kita dilatih, disiapkan, dan diberi ruang untuk berkarya,” tutupnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]