Didik menjelaskan bahwa ada teori perilaku politisi, yakni pertama empire builders motivation, kemudian budget maximizing motivation.
"Menguasai budget berarti menguasai teritorial, empire menguasai kekuasaan. Ketika masuk ke sana seperti bisnisman motifnya adalah profit, itu sangat boleh. Politisi memaksimumkan empires-nya juga boleh. Tapi itu bersentuhan dengan moralitas, dan ketika moralitasnya hilang, yang memandu adalah rule of the game, demokrasi dan seterusnya." Imbuhnya.
Baca Juga:
Kanwil Kemenag DIY Imbau Dai Jaga Kerukunan Menjelang Pilkada Serentak 2024
Narasumber lainnya, Dr. Abdul Gaffar Karim, dosen Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada menyampaikan bahwa moralitas tertinggi yang harus dipegang adalah demokrasi, yakni kedaulatan di tangan rakyat, kehendak rakyat yang berjalan bukan kehendak segelintir orang
"Nah moralitas ini yang tidak bisa dikawal sebaik baiknya, yang kita keluhkan sebagai absennya fatsun politik karena prinsip moral utama tidak dipegang, kehendak rakyat bukan pengarah utama yang mengunci seluruh polisi di Indonesia." Ungkapnya.
Menurut Gaffar demokrasi di sejumlah negara menunjukkan gelagat penurunan kualitas, Pemilu tetap ada, pemimpin dipilih secara demokratis tapi pemilu juga dilemahkan pemimpin.
Baca Juga:
Saksi Ganjar-Mahfud Tolak Hasil Pleno KPU Badung terkait Bansos Presiden
"Ini terjadi karena tidak ada sistem yang memaksa mereka untuk berbuat baik. Jadi banyak sistem yang memang tidak punya unsur pemaksa seperti UU Pemilu, punya banyak larangan, punya batasan tapi tidak punya sanksi, jadi tidak bisa ditindak." Terangnya.
"Karena itu kata kuncinya adalah menguatkan pendidikan politik, ini upaya jangka menengah dan jangka panjang untuk menguatkan demokrasi dengan cara yang mudah dipahami agar rakyat punya demand yang bagus untuk memaksa politisi berbuat baik, bukan hanya sekedar benevolence." pungkasnya.
[Redaktur: Amanda Zubehor]