WAHANANEWS.CO, Jakarta - Uya Kuya, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN, melontarkan pernyataan yang menggegerkan saat rapat kerja dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Dalam forum resmi tersebut, Uya menyingkap sejumlah praktik tak manusiawi yang dialami para mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di berbagai institusi pendidikan.
Baca Juga:
TKW Korban Pemerasan Kenny Ada yang Hamil Hingga Keguguran
Ia menyebutkan adanya kekerasan fisik, pemerasan finansial, hingga perlakuan merendahkan martabat yang dilakukan oleh dokter-dokter senior terhadap para peserta pendidikan.
Salah satu kasus mencolok yang diungkap berasal dari Bandung, Jawa Barat. Seorang dokter PPDS mengaku dipaksa mengeluarkan uang hingga setengah miliar rupiah, jumlah yang fantastis, untuk menutupi berbagai pengeluaran dokter senior, termasuk aktivitas hiburan malam seperti clubbing.
Menurut Uya, praktik semacam ini bukan hanya pelanggaran etik, tetapi juga masuk kategori tindakan kriminal yang serius dan harus ditindaklanjuti secara hukum.
Baca Juga:
Polsek Percut Sei Tuan Laksanakan Pengamanan Temu Kader PAN
Tak hanya itu, Uya juga mengangkat kasus terbaru yang terjadi di Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang.
Dalam kasus ini, seorang peserta PPDS mengalami kekerasan fisik berat, termasuk insiden brutal di mana testis korban diduga ditendang oleh dokter senior berinisial YS.
"Ini bukan insiden pertama yang melibatkan YS," ujar Uya. Ia mengungkap bahwa YS pernah dijatuhi sanksi tidak boleh mengajar selama lima tahun pada 2019 karena kasus perundungan, serta mendapat hukuman disiplin pada tahun 2003 atas tindakan serupa.
Lebih jauh, Uya memaparkan kesaksian mantan peserta PPDS dari Bandung yang mengalami kekerasan fisik dan psikologis secara sistematis.
Korban mengaku dipaksa berdiri dengan satu kaki selama tiga jam, melakukan push up berulang-ulang, merangkak di lorong rumah sakit, hingga mengangkat kursi lipat selama satu jam sebagai bentuk "hukuman".
Tak hanya itu, ia juga dipaksa menanggung biaya servis mobil dan hiburan malam sang dokter senior.
“Selama tiga semester, total pengeluaran korban mencapai Rp 500 juta. Ini benar-benar tidak masuk akal dan sangat tidak manusiawi,” tegas Uya dengan suara penuh emosi.
Yang lebih menyedihkan, lanjut Uya, adalah kurangnya respons tegas dari institusi terkait setelah korban mencoba melapor.
Ia menyebut korban justru sempat mendapat hukuman karena izin pulang menemani istri yang tengah melahirkan.
“Dia dipukul, didorong di toilet, bahkan dihukum satu bulan tidak boleh keluar. Tapi setelah berani bersuara, tidak ada tindakan lanjutan dari pihak berwenang,” ungkapnya.
Dalam pernyataan penutupnya, Uya Kuya menekankan perlunya pembentukan Satgas Anti-Bullying yang melibatkan institusi besar seperti Polri, TNI, bahkan KPK.
Ia menegaskan bahwa data kekerasan di lingkungan PPDS sebenarnya sudah dimiliki Kementerian Kesehatan, dan seharusnya dapat segera dijadikan dasar tindakan hukum.
“Kalau memang kita ingin bersih dan tegas, semua data itu harus dibuka dan diserahkan ke penegak hukum. Harus ada efek jera yang nyata,” pungkas Uya Kuya dengan penuh ketegasan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]