WahanaNews.co | Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengungkapkan, penerapan kelas rawat inap standar (KRIS) jaminan kesehatan nasional (JKN) memerlukan transisi yang tak singkat serta kajian mendalam.
Terutama adanya 12 poin yang harus dipenuhi oleh rumah sakit dalam penerapan kelas standar ini.
Baca Juga:
Pakta Konsumen Menilai Rencana Aturan Kemasan Rokok Polos Tidak Tepat Diterapkan
Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno, menyebut, dari 12 poin yang ditetapkan keseluruhan hanya menitikberatkan pada infrastruktur kelas rawat inap itu sendiri.
Padahal dari hasil laporan masyarakat yang masuk ke YLKI mayoritas keluhan datang disebabkan layanan dari program JKN, dalam hal ini aduan yang dirasakan pasien yang memiliki BPJS Kesehatan.
"Permasalahan yang ada saat ini bukan hanya di sisi infrastruktur memang ada permasalahan infrastruktur. Tapi masalahnya utama itu justru pada sistem layanan atau proses bisnisnya dan juga sumber daya manusianya atau ketersediaan tenaga medis di rumah sakit, terutama rumah sakit di daerah yang jauh dari jangkauan kota," kata Agus, dikutip Rabu (20/4).
Baca Juga:
MPW Pemuda Pancasila Riau-BPJS Ketenagakerjaan Gelar Sosialisasi Jaminan Sosial Pekerja Informal
Ia memberikan contoh misalnya peserta kelas 2 BPJS Kesehatan layanan yang didapatkan di rumah sakit A dan B bisa saja berbeda. Maka sistem layanan tersebutlah yang harusnya mendapatkan standarisasi.
Kemudian dengan KRIS Agus menilai juga bukan perkara yang cepat bagi rumah sakit untuk melakukan transisi terutama rumah sakit swasta di daerah. Apalagi dengan adanya ketentuan 40% alokasi diperuntukkan bagi pasien BPJS Kesehatan.
Dengan kelas rawat inap standar akan ada konsumen atau peserta yang naik kelas dan ada juga yang turun. Maka akan ada juga dampak penerapan KRIS terhadap tarif dari peserta BPJS Kesehatan. Persoalan tarif juga perlu diperhatikan dalam penerapan KRIS JKN.
Namun sisi positif dari adanya KRIS, Agus menyebut akan semakin terlihat esensi dari gotong royong program JKN ini. Dimana takkan ada perbedaan mana peserta yang berasal dari kalangan berada atau kurang berada.
Hanya saja gotong royong yang semakin jelas ini harus diikuti dengan standarisasi pelayanan bagi pasien BPJS Kesehatan.
"Sisi positifnya adalah ini bisa menjadi kegotong royongan yang jelas tapi dengan catatan yang distandarisasi bukan hanya kelas rawat inapnya atau infrastrukturnya tapi juga layanannya," ujarnya.
Dikutip dari keterangan resmi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), sebagai upaya untuk membangun ekosistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sehat, berkesinambungan, dan berkeadilan, pemerintah membuat agenda reformasi ekosistem JKN salah satunya penerapan kelas rawat inap standar (KRIS) JKN.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tono Rustiano menyebutkan, penerapan KRIS JKN bertujuan untuk menjalankan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas di Program JKN.
Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 23 (4) yang menyatakan bahwa jika peserta membutuhkan rawat inap di Rumah Sakit maka diberikan berdasarkan “kelas standar”.
Hal ini bertujuan untuk mewujudkan ekutias dalam program JKN. Prinsip ekuitas artinya kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.
"Kriteria yang disusun untuk penerapan KRIS JKN ini bukanlah kriteria baru melainkan diambil dari kebijakan yang ada di Kementerian Kesehatan, yaitu berupa Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit-Ruang Rawat Inap, Permenkes Nomor 24 Tahun 2016 tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit." tuturnya.
Menurut Tono, semua hal yang menjadi kriteria adalah untuk kepentingan keselamatan pasien, baik dari bahan bangunan, ventilasi, pencahayaan, kontak percabangan, panggilan bagi perawat, nakes, suhu ruangan, ruangan per jenis kelamin, kepadatan ruang rawat, dan tirai. [qnt]