LUPAKAN dulu baliho-baliho Rizieq Shihab. Singkirkan
juga Edhy Prabowo. Karena, nama yang satu ini jauh lebih reputable ketimbang dua orang itu.
Ya, dialah
Diego Armando Maradona Franco. Namanya sudah mendunia sejak --setidaknya--
tahun 1979, ketika membawa Timnas Junior Negeri
Tango Argentina memboyong Piala Dunia U-20, dan ketika nama Rizieq Shihab
maupun Edhy Prabowo entah masih di mana.
Baca Juga:
Indonesia Siap Kerja Sama dengan Argentina di Bidang Olahraga
Saya menjadi
sangat akrab dengan nama ini, karena di tahun 1979 itu, pada pentas Piala Dunia
U-20 di Jepang, Maradona dan tandemnya, Ramon Diaz, membombardir gawang Endang
Tirtana habis-habisan, sekaligus membuat Bambang Nurdiansyah, Subangkit, dan
kolega-kolega lainnya kebingungan untuk sekadar mendapatkan bola.
Lewat
tayangan di layar kaca TVRI, Timnas Indonesia U-20 kena banting Argentina
dengan enam gol tanpa balas. Padahal, kala itu, postur Maradona dan Diaz
relatif masih sangat sepadan dengan Bambang Sunarto cs.
Si boncel
jenius dengan mata setengah tertidur itu, yang kemudian memecahkan rekor
transfer saat dibeli Barcelona dari Boca Juniors, membius mata para penggila
bola lewat umpan-umpan akurat dan gocekan-gocekan aduhainya.
Baca Juga:
Sambut Hari Bhayangkara ke-78, Wakapolres dan Tokoh Pemuda Jakbar Buka Pertandingan Eksebisi
Tidaklah
mengherankan kalau kemudian Maradona menjadi salah satu pemain dalam sejarah
yang paling sering dilanggar, dihantam, dijatuhkan dengan berbagai cara, karena
setiap pergerakannya memang selalu melahirkan petaka.
Bahkan
seorang Giacinto Facchetti, bek degil Timnas Italia, tak pernah mau berjarak
dua langkah darinya, termasuk saat Maradona sedang mengikatkan tali sepatunya
di luar lapangan.
Maradona
jualah yang menjadi inspirator saat Argentina memboyong Piala Dunia keduanya di
Meksiko tahun 1986, setelah di final menekuk Jerman (Barat) 3-2.