"Kami tidak
kalah dari Argentina. Kami kalah dari Maradona," itulah pengakuan Karl-Heinz
Rummeniegge, bintang Timnas Jerman (Barat) kala itu.
Empat tahun
kemudian, pada Piala Dunia 1990 di Italia, Jerman membalasnya lewat pertarungan
final terburuk dalam sejarah. Penalti Andreas Brehme menjadi satu-satunya gol
di pertandingan itu, sekaligus membuat Maradona berurai airmata.
Baca Juga:
Indonesia Siap Kerja Sama dengan Argentina di Bidang Olahraga
"Saya bukan
menyesal karena gagal mempertahankan Piala Dunia. Saya kesal karena harus kalah
dari tim yang bermain sangat negatif dan tidak menarik," kata Maradona, di sela
deraian airmatanya.
Sejak saat
itu, lawan-lawan Argentina ataupun musuh-musuh dari klub yang dibela Maradona
seolah menemukan formula sederhana. Matikan Maradona dengan segala cara, lalu
curi kesempatan saat teman-temannya frustrasi!
Empat tahun
setelah Italia 1990, strategi semacam itu seolah masih diberlakukan, termasuk
di luar lapangan. Di Piala Dunia 1994, yang tergelar di Amerika Serikat,
Argentina terjajar di babak pendahuluan, setelah Maradona dinyatakan positif
doping dan harus dipulangkan lebih awal ke Buenos Aires.
Baca Juga:
Sambut Hari Bhayangkara ke-78, Wakapolres dan Tokoh Pemuda Jakbar Buka Pertandingan Eksebisi
"Bahkan di
luar lapangan pun Maradona dijegal dengan segala cara," tulis media-media
Argentina, saat itu.
Sebegitu
besarnyakah peran Maradona? Bukankah sepakbola itu permainan sebelas melawan
sebelas? Apa kabar dengan sepuluh teman Maradona lainnya?
Adalah
fakta, Napoli, tim yang saat itu masih dianggap "gurem" di Liga Seri A Italia karena
baru promosi dari Seri B, mendadak melejit ke permukaan dan menjadi
hantu yang menakutkan.