Oleh YANUAR NUGROHO
Baca Juga:
Mabes Polri Gelar Upacara Sumpah Pemuda, Indeks Pembangunan Pemuda Harus Ditingkatkan
SAAT medali emas diraih ganda putri bulutangkis Indonesia di Olimpiade Tokyo, juga setelah 19 tahun Piala Thomas akhirnya ”pulang” kembali tahun ini, rasa bangga sebagai satu bangsa menyatukan kita.
Membuat kita sejenak lupa pada berbagai soal sosial, ekonomi, dan politik yang mendera dan kita hadapi bersama-sama.
Baca Juga:
Peringati Hari Sumpah Pemuda Ke-96, Danrem 182/JO Bacakan Amanat Menpora
Ketika negeri ini dipuji karena berhasil mengendalikan pandemi Covid-19, kita juga bangga sebagai bangsa meski harus tetap waspada, setelah gelombang kedua korona mengguncang hidup bersama kita.
Gagasan kebangsaan memang tidak terbentuk di ruang kosong.
Ia muncul dari realitas yang melahirkan cita-cita dan harapan akan masa depan bersama yang lebih baik.
Karenanya, selain soal jati diri, kebangsaan selalu menyangkut realitas, angan, dan upaya menggapai harapan.
Angan dan Realitas
Negeri ini mengukir mimpi: Indonesia Emas di 2045.
Menjadi negara maju sebagai ekonomi terbesar keempat atau kelima dunia dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita 23.199 dollar AS, rakyat terdidik dan sehat dengan usia harapan hidup 75,5 tahun, dan masyarakat adil sejahtera dengan kemiskinan di bawah 2,5 persen (Bappenas, 2016).
Untuk meraihnya, perlu empat fondasi: pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pembangunan ekonomi yang produktif dan berkelanjutan, pemerataan pembangunan, dan pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan (Bappenas, 2019).
Terkait pembangunan manusia sebagai kunci membangun bangsa, ada setidaknya empat sasaran di 2045.
Pertama, pendidikan yang berkualitas untuk melahirkan manusia unggul dan berbudaya.
Minimum rata-rata lama sekolah harus 12 tahun, angka partisipasi kasar perguruan tinggi 60 persen, dan 90 persen angkatan kerja lulus SMA atau sederajat.
Pendidikan dan pengembangan ilmu harus diarahkan untuk menguatkan struktur sosial-ekonomi produktif.
Kedua, kesehatan dan gizi masyarakat yang baik serta layanan kesehatan berkualitas bagi semua.
Transisi pandemi Covid-19 menuju endemi menjadi fondasi reformasi sektor kesehatan.
Ketiga, kemajuan iptek dan inovasi.
Ekosistem pengetahuan dan inovasi mesti terbangun agar iptek dan inovasi jadi mesin utama membangun daya saing lewat hilirisasi, peningkatan kapasitas negara, dan integrasi pengetahuan dalam kebijakan dan rencana pembangunan.
Terakhir, produktivitas tenaga kerja yang sejalan dengan perubahan struktur ekonomi dan kemajuan teknologi.
Pasar tenaga kerja mesti fleksibel dan adaptif.
Partisipasi dan tingkat pendidikan tenaga kerja, khususnya perempuan, harus ditingkatkan.
Perlindungan dan kesejahteraan mereka harus lebih baik. Pengangguran mesti terjaga di tingkat natural unemployment (3-4 persen).
Sektor informal mesti diafirmasi, diperkuat.
Terkait ekonomi produktif berkelanjutan, ekonomi Indonesia 2045 akan ditentukan investasi, industri, pariwisata, maritim, pangan, air, energi, dan lingkungan hidup.
Iklim investasi harus jadi salah satu yang terbaik di Asia dan dunia.
Modernisasi industri perlu difokuskan pada pengolahan SDA dan integrasi rantai pasok dan rantai nilai dari hulu ke hilir, bukan sekadar dagang komoditas.
Industri, perkotaan, dan konektivitas mesti smart and sustainable demi kualitas lingkungan hidup lebih baik.
Ekonomi kreatif dan digital harus berfokus pada peningkatan kualitas manusia dan penguatan ekosistemnya.
Pariwisata jadi penyumbang devisa terbesar dan penggerak pertumbuhan ekonomi.
Sumbangan ekonomi maritim terhadap PDB akan makin signifikan lewat konektivitas laut, industrialisasi perikanan, dan pariwisata bahari.
Target ketahanan pangan adalah swasembada karbohidrat dan protein, peningkatan nilai tambah komoditas pertanian, dan kesejahteraan serta produktivitas petani.
Ketahanan air jadi fondasi sektor strategis khususnya kebencanaan, infrastruktur, dan lingkungan.
Peran energi baru dan terbarukan (EBT) makin besar.
Meski rasio elektrifikasi 100 persen sudah tercapai, pembangkitan tenaga listrik dan pasokan energi per kapita tetap ditingkatkan lewat pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan berbasis kepulauan agar lebih efektif.
Komitmen pada lingkungan diwujudkan melalui pembangunan rendah karbon, penurunan emisi, perlindungan hutan dan gambut, peningkatan produktivitas lahan, dan penanganan limbah.
Ketiga, pemerataan pembangunan.
Pendapatan harus kian merata bagi seluruh lapisan masyarakat, kesenjangan antarwilayah makin kecil, infrastruktur merata dan terintegrasi, serta kemiskinan akut dientaskan.
Targetnya, rasio Gini turun ke tingkat ideal sekitar 0,34 tahun 2035 dan kemiskinan akut lenyap tahun 2040 (Bappenas, 2019).
Pemerataan pembangunan daerah mesti ditingkatkan.
Luar Jawa dan Indonesia timur harus tumbuh lebih tinggi dari Jawa dan Indonesia barat.
Caranya, konektivitas darat mesti terwujud lewat penyelesaian ruas utama jalan di seluruh pulau, jalan tol Jawa dan Sumatera, jalan perbatasan, kereta api di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua, serta transportasi berbasis rel sebagai antisipasi urbanisasi.
Transportasi laut dan udara antarpulau ditujukan untuk mendukung mobilitas orang dan barang.
Targetnya, biaya logistik turun ke 8 persen PDB dan stok infrastruktur meningkat ke 70 persen PDB di 2045 (KemenPUPR, 2020; Kemenhub, 2020).
Konektivitas digital dipenuhi lewat jaringan broadband hingga 100 Gbps (Kemenkominfo, 2020).
Terakhir, pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.
Kualitas demokrasi harus ditingkatkan. Demokrasi prosedural dan formal mesti makin substansial.
Ruang perbedaan pendapat mesti dijamin dan dilindungi.
Reformasi birokrasi dan kelembagaan mutlak untuk memperkuat kapasitas negara.
Tata kelola pemerintah harus transparan, efektif, inklusif, partisipatif. Birokrasi harus andal, modern, profesional, tangkas mengelola perubahan.
Pembangunan hukum diarahkan pada kepastian penegakan hukum berlandaskan HAM, peningkatan kesadaran hukum, dan penguatan sistem hukum nasional.
Pada 2045, hukum warisan kolonial sudah harus diganti seluruhnya oleh hukum nasional.
Indeks Persepsi Korupsi ditargetkan 60-65. (Bappenas, 2019)
Politik luar negeri bebas aktif diarahkan untuk kepentingan nasional, dengan meningkatkan peran di Asia Pasifik dan mempertahankan sentralitas ASEAN (Kemenlu, 2020).
Pertahanan dan keamanan (hankam) ditingkatkan untuk menghadapi ancaman dan tantangan masa depan yang perlu respons sesuai perkembangan zaman.
Fokus pembangunan hankam adalah jaminan rasa aman dan damai seluruh warga.
Memahami ke mana semua angan itu akan membawa bangsa, sejauh apa jarak antara angan dari realitas?
Realitas Manusia Indonesia
Dari 271,34 juta penduduk saat ini, 70,72 persen berusia produktif (15-64 tahun), 23,33 persen berusia muda (0-14 tahun), dan 5,95 persen lansia (65 tahun ke atas) (BPS, 2021).
Dengan komposisi ini, Indonesia berharap bisa keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap) dan meraih bonus demografi sekitar 2035.
Middle income trap terjadi saat sebuah negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tak dapat naik menjadi negara maju karena dinamika pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan demografi --khususnya pertumbuhan populasi yang memengaruhi Pendapatan Nasional Bruto (PNB).
Dari 190 lebih negara di dunia, hanya 20 bisa keluar dari jebakan ini.
Indonesia sudah menjadi negara kelas menengah atas di 2020, tetapi malah turun ke kelas menengah bawah tahun ini karena turunnya PNB.
Karena itu, wajar bonus demografi jadi obsesi.
Ia diraih saat penduduk berusia nonproduktif jumlahnya lebih kecil dari penduduk berusia produktif yang memang produktif.
Artinya mampu menghasilkan pendapatan, mendongkrak PNB membantu negara ”naik kelas”.
Sebaliknya, ia jadi beban atau jebakan ketika penduduk usia produktif yang jumlahnya lebih banyak dari yang berusia nonproduktif justru tak produktif: tak mampu meningkatkan penghasilan, apalagi mengungkit PNB sehingga negara ”tinggal” atau malah ”turun kelas”.
Penduduk usia produktif kita didominasi generasi X (lahir 1965-1980), milenial (lahir 1981-1996), dan sebagian Z (lahir 1997-2012).
Sungguhkah mereka produktif?
Digambarkan sebagai anak muda kelas menengah terdidik, melek teknologi dan modern, kaum milenial digadang-gadang akan membawa perubahan dan kemajuan negeri.
Padahal realitasnya sebaliknya: 20 persen milenial Indonesia pekerja rendahan dan lulusan setingkat SMA, 25 persen bekerja di sektor jasa dan sales, dan penghasilan rata-rata hanya Rp 2,1 juta sebulan (BPS, 2017).
Sebesar 14,4 persen mengenyam pendidikan di atas SMA, dan cuma 0,38 persen lulus perguruan tinggi.
Hanya 7 persen bekerja di sektor profesional dan 1,4 persen di posisi manajerial.
Bagi mereka pun, sulit untuk sekadar hidup layak, apalagi punya rumah impian (Kompas, 1/10/2021).
Apa sebabnya?
Distribusi kekayaan antara milenial dan generasi sebelumnya timpang.
Di AS, pada usia 40 tahun, kekayaan gen X hanya separuh kekayaan baby boomers, dan kini kekayaan milenial hanya sekitar 40 persen gen X.
Jadi, pada usia sama, milenial memang punya aset lebih sedikit ketimbang generasi sebelumnya.
Temuan Kompas (1/10/2021 dan 4/10/2021) mengindikasikan hal serupa.
Penyebab lain rupanya karena para milenial mesti menanggung hidup generasi di atasnya, selain dirinya sendiri dan anak-anaknya.
Mereka terjepit, jadi generasi sandwich (Miller, 1981).
Di Indonesia, hanya tujuh dari 100 lansia yang mandiri secara finansial karena punya pensiun (6,45 persen) atau investasi (0,58 persen).
Sekitar 93 persen lainnya butuh dukungan finansial dari angkatan produktif (BPS, 2021).
Dengan realitas ini, bagaimana kita merawat harapan untuk meraih angan masa depan?
Merawat Harapan
Inti membangun bangsa adalah membangun manusia.
Maka, di hulu, manusia Indonesia harus sehat, terdidik baik, dan sejahtera; di hilir, ia mesti produktif, inovatif, beradab, dan berbudaya.
Semenjak awal, pendidikan dan kesehatan bukan hanya hak dasar warga, melainkan layanan publik yang harus bermutu.
Kualitas pendidikan harus meningkat dan merata, guru harus makin profesional, metode pembelajaran mesti adaptif, dan pendidikan karakter menjadi muatan pokok melengkapi keterampilan dan wawasan.
Kesehatan warga yang berkualitas harus dicapai lewat peningkatan dan pemerataan layanan kesehatan, pemahaman perilaku hidup sehat, strategi pencegahan dan pengendalian penyakit, penguasaan teknologi kesehatan, dan penguatan fasilitas kesehatan.
Selain itu, skema perlindungan sosial harus diperkuat dan disederhanakan agar efisien dan efektif menjangkau yang layak mendapatkannya.
Memastikan pembangunan manusia semacam ini jadi kunci.
Birokrasi modern yang lincah dengan tata kelola pemerintahan yang terbuka dan berintegritas membutuhkan birokrat yang unggul, terdidik, dan berwawasan luas.
Transformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi membutuhkan tak hanya ilmuwan atau usahawan yang mumpuni melakukan hilirisasi, tapi juga pelaku sektor publik dan penyelenggara negara yang fasih menggunakan bukti, ilmu, dan data untuk merumuskan kebijakan, menyusun program pembangunan, dan melaksanakannya.
Sayangnya, untuk mencapai itu semua, tak banyak waktu tersisa.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah punya strategi kependudukan nasional yang tegas dan jelas.
Fokusnya adalah menyusun intervensi yang tepat untuk memastikan tiada bayi yang lahir tengkes, anak usia muda tumbuh sehat dan terdidik, anak muda usia produktif memang produktif, dan lansia tidak menjadi beban mereka.
Hanya itu cara menghindari jebakan demografi dan middle income trap --sekaligus membawa bangsa mewujudkan mimpi Indonesia 2045.
Tahun 1928, kaum muda dari berbagai penjuru Nusantara bersatu mencanangkan tekad yang menjadi landasan mewujudkan kemerdekaan.
Saat ini, kita juga mesti berani bertekad untuk menjadi bukan hanya salah satu bangsa terkaya seantero jagat, melainkan juga negara dengan warga yang bermartabat.
Karena, Sumpah Pemuda bukanlah sekadar sejarah.
Ia wujud niat dan tekad bersama untuk meraih angan kesatuan dan kebangsaan menuju masa depan. (Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara Jakarta; Penasihat CIPG; Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura; Anggota ALMI; Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Angan Kesatuan dan Kebangsaan”. Klik untuk baca: Angan Kesatuan dan Kebangsaan - Kompas.id.