JOKOWI sedang menceritakan kehebatan Indonesia di Singapura. Sementara Gibran terbang ke Afrika Selatan juga akan menceritakan kemegahan negeri ini di forum G20. Ayah dan anak untuk negeri ini.
Mari kita kupas, dua sosok satu DNA ini sambil seruput Koptagul, wak!
Baca Juga:
Soal Ijazah Jokowi: Eks Kadis Kehutanan Provinsi NTB Teman Seangkatan di UGM Buka Suara
Pada 21 November 2025, Indonesia tampil sebagai sutradara, pemain utama, penonton, sekaligus tukang parkirnya. Lihat saja pemandangan epik itu, sang ayah, Joko Widodo, berdiri tegap di Singapura, di panggung Bloomberg New Economy Forum.
Seperti balas dendam atas stereotype, orang Indonesia kalau pidato bahasa Inggris pasti buka Google Translate dulu. Tidak, kali ini Jokowi tampil pede, menyapu ruangan dengan aksen yang entah Jawa, entah global, entah hybrid yang belum ditemukan UNESCO.
Ia melafalkan kalimat sakralnya, “How can we build a strong economy for 280 million people?” dengan kegetiran seperti ayah yang melihat anaknya main HP padahal disuruh beli kecap.
Baca Juga:
PSI Jabar: Ketika Jokowi Hadir Berjuang Akan Ada Badai Politik
Pidato itu disiarkan ke seluruh dunia. Para ekonom internasional mengangguk-angguk seakan memahami kedalaman filsafatnya. Jokowi membawakan gagasan pembangunan infrastruktur dasar, seperti jalan raya, pelabuhan laut, bandara, jaringan listrik, jaringan digital.
Semua disebutkan dengan nada seperti menyebut daftar belanja Indomaret, tapi level geopolitik. Ia bicara QRIS seakan itu pahlawan super yang bernama lengkap “Quick Response International Savior,” dan Gojek dipuji seperti anak kos yang tiba-tiba jadi komisaris BUMN.
Semua itu menuju Intelligent Economy, ekonomi cerdas, ekonomi yang bisa berpikir, ekonomi yang mungkin suatu hari bisa menolak pinjol dengan sopan.
Tetapi dunia belum siap dengan plot twist berikutnya. Ketika sang ayah memukau Singapura, sang anak justru sedang terbang ke Afrika Selatan membawa mandat negara.
Ini bukan film action, tapi seharusnya bisa. Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden paling fresh-from-the-oven dalam sejarah modern, diutus langsung oleh Presiden Prabowo Subianto untuk menghadiri KTT G20 di Johannesburg.
Prabowo tidak bisa hadir karena agenda kenegaraan ke Belanda dan Tiongkok. Maka Gibran pun diberangkatkan dari Lanud Halim Perdanakusuma sekitar pukul 09.15–09.30 WIB.
Di KTT G20, Gibran tentu menceritakan pembangunan ekonomi berkelanjutan, perdagangan global, dan sistem keuangan dunia yang compang-camping.
Belum lagi isu Donald Trump yang sedang nge-boikot Afrika Selatan, geopolitik level horor thriller, dan Gibran harus berada di tengahnya, entah sebagai diplomat profesional atau sebagai konten TikTok yang bernilai sejarah.
Tak hanya itu, pemerintah juga mengirim Lodewijk Freidrich Paulus, Wamenko Polhukam yang ditugaskan menyerahkan surat resmi ketidakhadiran Prabowo langsung kepada Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa.
Ini diplomasi tinggi level up, seperti permainan RPG di mana satu karakter pergi pidato, satu lagi pergi menyerahkan misi sampingan.
Kehadiran Gibran di G20 bukan sekadar foto-foto belakang podium. Ia ditugaskan menyampaikan pidato resmi Indonesia, bertemu pemimpin negara lain, dan memastikan Indonesia tidak tampak seperti anak baru masuk sekolah internasional. Ia membawa pesan, Indonesia tetap aktif dalam pemulihan ekonomi global dan penguatan kerja sama internasional.
Ketika semua pidato telah selesai, semua pertemuan bilateral ditutup, dan semua jurnalis menyalakan laptop untuk menulis berita, tinggallah manusia di baliknya, seorang ayah yang percaya perubahan itu niscaya, dan seorang anak yang kini mulai belajar menggerakkan roda dunia. “Indonesia, you’re different… in a good, chaotic, beautiful way.”
Dalam dunia yang makin riuh, diplomasi global ternyata bisa diajarkan lewat hubungan paling sederhana, ayah dan anak. Jokowi di Singapura dan Gibran di Afrika Selatan menunjukkan, kepemimpinan bukan soal siapa paling kuat, paling senior, atau paling lantang berpidato, tapi soal keberanian untuk melangkah, meski langkahnya beda benua, beda panggung, dan beda gaya rambut.
Penulis, Ketua Satupena Kalbar