Oleh MIKHAIL GORBACHEV DOM
Baca Juga:
Kementerian PU Siapkan 25 Posko Nataru di Jalan Nasional Sumatera
DEMOKRASI di Indonesia tidak berkorelasi dengan indeks kualitas lingkungan hidup.
Jakarta, misalnya, sebagai daerah yang memiliki indeks demokrasi paling tinggi dari semua provinsi yang ada di Indonesia ternyata punya kualitas lingkungan hidup yang rendah.
Baca Juga:
Pastikan Jalan Nasional dan Jembatan di Sulsel Siap Dilalui Selama Nataru, Kementerian PU: 96,45% Dalam Kondisi Mantap
Berbeda dengan Papua yang memiliki kualitas demokrasi yang buruk, tetapi memiliki kualitas lingkungan yang tinggi.
Demokrasi lebih berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi.
Ketika indeks demokrasi tinggi, umumnya pertumbuhan ekonomi juga tinggi.
Keadaan ini tentunya menyisakan tanya, ”Apakah ada yang salah dalam demokrasi dan pembangunan di Indonesia?”
Menurut saya, demokrasi telah gagal menangkap aspirasi masyarakat sehingga tidak terjadi pembangunan yang bersifat bottom up.
Demokrasi hanya bergerak di tataran elite sehingga program pembangunan yang ada hanya bersifat top down, utamanya di perkotaan.
Kegagalan demokrasi ini menciptakan masyarakat yang anarkistis secara sosial dan lingkungan, masyarakat yang mengokupasi bantaran sungai secara ilegal untuk membuat rumah dan berkomunitas bersama pelanggar lainnya.
Akibatnya, pembangunan ruang kota juga menjadi timpang (spatial inequality), pertumbuhan permukiman liar yang tidak terkendali juga membebani layanan publik, penempatan layanan publik secara ruang yang tidak merata sesuai dengan kebutuhan pengguna menciptakan ketidakadilan ruang (spatial injustice).
Menariknya, hal ini terjadi justru pada wilayah pusat kota, pelayanan terbaik justru berada pada wilayah antara pusat kota dan pinggiran kota.
Demokrasi di tataran akar rumput gagal karena terputusnya rantai aspirasi masyarakat melalui struktur kelembagaan kota; RT, RW, lurah, camat, wali kota, gubernur, presiden tidak saling terhubung dalam rantai aspirasi.
Pernah ada usaha memotong jalur aspirasi ini melalui aplikasi.
Penggunaan aplikasi ini membuka kanal partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai agen monitoring dan evaluasi pembangunan pada skala komunitas.
Meski penggunaan aplikasi pada kota dan masyarakat yang belum 100 persen memiliki akses kepada teknologi tetap mengeksklusi beberapa golongan masyarakat --mereka yang tidak memiliki ponsel pintar tidak dapat menyampaikan aspirasinya, cara ini terbukti efektif memberi peran lebih kepada lurah sebagai manajer wilayah.
Walau begitu, saya masih menilai penggunaan aplikasi ini dalam jangka panjang juga tidak dapat mewadahi masyarakat untuk membangun secara bottom up.
Pembangunan yang berasal dari masyarakat memerlukan modal sosial yang kuat di masyarakat, yang memang agak sulit ditemui di wilayah perkotaan.
Modal sosial kuat umumnya ditemui lebih banyak di wilayah perdesaan.
Meski begitu, terdapat contoh di beberapa kota hal ini masih mampu dilakukan.
Masyarakat kota dapat membangun pusat-pusat kebudayaan skala komunitas (community cultural hub) untuk menjadi wadah dalam membicarakan masalah bersama terkait pembangunan.
Dengan cara ini diharapkan pembangunan sosial dapat merata dan tidak menyisakan ketimpangan, baik secara kelas maupun secara jangkauan (spasial).
Kesetaraan secara sosial sebagai konsekuensi logis dari pembangunan sosial merupakan pintu masuk ke dalam pembangunan lingkungan.
Pembangunan sosial dan lingkungan tidak dapat terpisahkan dan pembangunan sosial merupakan sebuah prasyarat mutlak dalam pembangunan lingkungan.
Kecerdasan Ekologi
Satu hal yang juga masih merupakan tantangan dalam perbaikan demokrasi di tingkat akar rumput adalah pendidikan.
Pendidikan saat ini masih berat pada pembangunan logika (IQ), sementara luput untuk membangun kecerdasan sosial dan bahkan kecerdasan lingkungan/ekologi (ecological intelligence).
Kecerdasan ekologi memiliki satu keunikan, yaitu mencakup kecerdasan sosial dan kecerdasan ekonomi, serta hal yang paling penting adalah bersifat holistik.
Secara khusus memiliki kecerdasan yang bersifat holistik adalah mampu melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang dan mungkin dapat melihat semua itu dalam cara berpikir sistem (systems thinking).
Tanpa membangun hal ini, kualitas lingkungan akan selalu luput dalam pembangunan dan tujuan pembangunan berkelanjutan tidak akan pernah tercapai.
Pembangunan berkelanjutan harus diimplementasikan dalam unit masyarakat terkecil dahulu baru naik pada unit masyarakat yang lebih besar.
Sulit membayangkan sebuah pembangunan berkelanjutan diimplementasikan melalui keputusan segelintir orang pada elite kekuasaan tanpa partisipasi yang luas dari masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan semacam ini dapat dipastikan hanyalah pembangunan berkelanjutan yang semu.
Tidak mungkin juga membayangkan sebuah pembangunan berkelanjutan di perkotaan dibangun tanpa memperhitungkan jejak ekologis dari wilayah penyangganya.
Karena itu, terdapat prinsip keadilan ruang (spatial justice) yang juga harus diperhitungkan pada saat melakukan perencanaan pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan dalam demokrasi yang baik akan menghasilkan masyarakat yang maju bersama tanpa ada komunitas yang tereksklusi.
Selain itu, juga menghasilkan sebuah ruang kota serta desa yang kontinum dari sisi lingkungan hidup dan merupakan suatu kesatuan ruang yang saling mendukung. (Mikhail Gorbachev Dom, Mahasiswa Program Doktor Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia; Research Fellow CSIS; Peneliti Senior Pusat Riset Perkotaan dan Wilayah UI)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Demokrasi dan Pembangunan Berkelanjutan”. Klik untuk baca: Demokrasi dan Pembangunan Berkelanjutan - Kompas.id.