BAYANGKAN bangun pagi, membuka ponsel, dan mendapati sederet lingkaran warna-warni berisi cerita-cerita baru dari teman, keluarga, hingga selebritas.
Dalam satu sapuan layar, kita bisa menyaksikan kopi pagi seseorang, perjalanan liburan, atau sekadar tulisan reflektif yang dihiasi musik sendu.
Baca Juga:
Foto-Video Mesra Khenoki Waruwu dan Kadis Pariwisata Beredar di Medsos, Plt. Bupati Nias Barat: Memalukan!
Story, fitur sederhana yang menawarkan konten singkat dalam waktu terbatas, kini menjadi salah satu elemen utama kehidupan digital.
Namun, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik banyaknya story yang kita konsumsi setiap hari?
Story media sosial lebih dari sekadar tampilan keseharian. Ia adalah jendela yang memperlihatkan apa yang ingin ditonjolkan pengguna, bukan apa adanya.
Baca Juga:
YLKI Wanti-wanti Konsumen Jangan Asal Viralkan Keluhan di Medsos, Ini Risikonya
Dibaliknya, ada narasi personal, usaha membangun citra, atau bahkan sekadar pengisi kekosongan waktu.
Fenomena ini menjadi menarik karena story bukan hanya tentang berbagi, melainkan mencerminkan bagaimana manusia modern mendefinisikan eksistensi di dunia maya.
Bagi sebagian orang, story adalah media komunikasi. Tanpa perlu mengirim pesan langsung, mereka merasa terhubung dengan lingkaran sosialnya.
Namun, bagi yang lain, story adalah panggung untuk menampilkan versi terbaik diri mereka.
Potret makanan sempurna, filter wajah yang memukau, hingga video perjalanan dengan latar lagu trending bukan hanya cerita, melainkan strategi. Dunia digital telah mengajarkan kita bahwa menjadi relevan adalah bagian penting dari kehidupan.
Ironisnya, semakin banyak story yang dibagikan, semakin sulit membedakan mana realitas dan mana kurasi. Sebagian besar konten disusun agar terlihat menarik, terinspirasi oleh algoritma yang memberi penghargaan pada estetika dan interaksi.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: apakah story benar-benar cara kita terhubung, atau hanya ilusi dari kedekatan yang sebenarnya?
Kebiasaan membuat story juga mencerminkan kebutuhan mendalam akan validasi. Setiap klik pada fitur “Viewers” menjadi tanda bahwa kita diperhatikan.
Semakin banyak jumlah penonton, semakin besar rasa puas yang muncul, meski hal itu sifatnya sementara.
Ini menunjukkan bahwa di balik banyaknya story, ada unsur psikologis yang tidak bisa diabaikan: keinginan untuk diterima, diakui, dan dilihat.
Meski demikian, tidak semua story harus dianggap dangkal atau manipulatif.
Sebaliknya, banyak yang menggunakan fitur ini untuk berbagi informasi penting, menyebarkan inspirasi, atau mengangkat isu sosial.
Dalam bentuknya yang terbaik, story adalah medium edukasi dan empati. Di sinilah kita melihat bagaimana media sosial bisa menjadi alat yang bermanfaat ketika digunakan secara bijak.
Maka, pertanyaannya bukan lagi “apa yang diceritakan melalui story?”, tetapi “mengapa kita memilih untuk bercerita?”.
Dengan memahami motivasi di balik penggunaan story, kita bisa lebih kritis terhadap konten yang kita konsumsi dan lebih sadar terhadap cerita yang kita bagi.
Di era di mana cerita singkat memiliki pengaruh besar, penting bagi kita untuk menyadari bahwa setiap story adalah cerminan kecil dari dunia yang semakin kompleks.
Intinya, story media sosial adalah potret zaman: sebuah era di mana identitas, koneksi, dan validasi melebur menjadi satu dalam hitungan detik.
Meski terkadang menampilkan citra palsu atau dangkal, fitur ini juga membuka ruang untuk kreativitas dan komunikasi yang lebih luas.
Kuncinya adalah memahami dan memanfaatkannya dengan bijak, agar kita tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga kreator yang bertanggung jawab dalam dunia digital. [*]