Oleh BENGET MANAHAN SILITONGA
Baca Juga:
Bawaslu Kulon Progo Gelar Penguatan Kapasitas Pengawas Pemilu Kecamatan untuk Pemilu 2024
RAPAT Kerja Komisi II DPR pada 16 September lalu gagal menyepakati jadwal pemungutan suara Pemilu 2024.
Pemerintah yang diwakili Mendagri mendadak mengusulkan Pemilu 2024 dilaksanakan pada April atau Mei 2024.
Baca Juga:
Perludem Ungkap Politisasi Bansos Pada Pilkada Tak Semasif Pemilu 2024
Stabilitas politik dan efisiensi anggaran menjadi alasan pemerintah menolak usulan KPU yang memajukan tahapan dan menjadwalkan pemungutan suara pada 21 Februari 2024 (”Tajuk Rencana” Kompas, 18/9/2021).
Alasan dan sikap pemerintah tentu saja mengejutkan, setidaknya karena dua hal.
Pertama, usulan KPU sebelumnya telah digodok dan dirumuskan dalam Tim Kerja Bersama yang terdiri dari Komisi II DPR, Kemendagri, dan Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPP).
Artinya, usulan itu tentu telah melalui pembahasan dan pertimbangan aspek teknis, politis, dan anggaran dari para pemangku kepentingan.
Memajukan jadwal pemilu ke 21 Februari 2024 dilatarbelakangi ketentuan bahwa hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 akan menjadi dasar pencalonan pemilihan pada 2024.
Perlu tersedia alokasi waktu yang cukup agar hasil Pileg 2024 sudah final sebelum tahapan pencalonan pemilihan dimulai pada September 2024.
Alokasi waktu tersebut untuk penyelesaian sengketa hasil Pileg 2024 dan konsolidasi parpol atau gabungan parpol menentukan dukungan pencalonan pemilihan.
Jika pun efisiensi anggaran menjadi pertimbangan, pemerintah dapat mengusulkan rasionalisasi volume dan frekuensi program tahapan pemilu, bukan mengusulkan mendekatkan jadwal Pemilu 2024 ke tahapan pencalonan Pemilihan 2024 yang justru lebih riskan dan berisiko.
Kedua, alasan pemerintah terkesan setback seolah membangkitkan kembali streotip; (tahapan) pemilu identik dengan instabilitas keamanan.
Alasan ini bisa memicu kembali keraguan dan resistensi terhadap pemilu dan proses demokrasi kita.
Tahapan pemilu dan stabilitas politik memang sesuatu yang inheren.
Pemilu adalah kontestasi politik yang melibatkan banyak pihak.
Di sana ada kompetisi, keriuhan, dan ketegangan yang niscaya akan memengaruhi, ”mengganggu” stabilitas politik.
Apalagi undang-undang mendesain tahapan pemilu kita berdurasi panjang, paling lambat dimulai 20 bulan sebelum pemungutan suara.
Namun, keriuhan itu seharusnya dipandang sebagai konsekuensi logis dari pemilu.
Toh, dari pemilu ke pemilu, kita telah mampu membuktikan kepada dunia bahwa pemilu di Indonesia adalah arena konflik-damai, bukan konflik berdarah-darah.
Gangguan Laten
Hal urgen yang mestinya diantisipasi adalah gangguan laten Pemilu dan Pemilihan 2024.
Pertama, keriuhan politik sebelum tahapan Pemilu 2024, di mana para elite politik, khususnya mereka yang mengemban jabatan penyelenggara negara, sudah mulai menggalang dukungan politik.
Bisa dibayangkan apabila praktik ini makin meluas dan intensif menjelang dan saat Pemilu 2024.
Selain mengganggu jalannya pemerintahan, hal tersebut bisa mencederai salah satu prinsip pemilu demokratis, yakni persaingan (peserta) yang bebas dan adil.
Perlu pengaturan lebih tegas sehingga praktik politik, baik pada masa nonpemilu maupun pada masa pemilu, bebas dari konflik kepentingan, berkeadilan, dan akuntabel.
Kedua, kerangka hukum (UU Pemilu dan UU Pemilihan) kita masih mengidap sejumlah ambivalensi dan inkonsistensi yang menyebabkan pemilu dan pemilihan kita belum sepenuhnya demokratis dan berintegritas.
Pertama, kandidasi di parpol.
Kerangka hukum memang telah memuat klausul, ”seleksi secara demokratis sesuai mekanisme internal parpol” dalam penentuan calon legislatif dan pasangan calon eksekutif (presiden maupun kepala daerah).
Sayangnya, klausul ”mengawang” tidak memiliki bobot dan standar demokratik yang akuntabel alias belum menjadi norma hukum yang tegas dan berlaku seragam sertai disertai sanksi.
Atas nama AD/ART parpol klausul tersebut justru cenderung direduksi oleh (elite) parpol, sebagai proses kandidasi yang tertutup, oligarkis, dan sentralistik.
Dengan kandidasi elitis seperti itu, praktik memilih sejatinya masih terperangkap ”memilih kucing dalam karung” sebab pemilih belum memiliki pengenalan yang cukup terhadap para calon politisi.
Kerangka hukum mestinya memperkuat norma hukum demokratisasi kandidasi parpol dengan pengaturan keterlibatan konstituen parpol/pemilih sejak dini dalam penjaringan dan penentuan bakal calon dan pasangan calon.
Dengan begitu, kandidasi di parpol menjadi lebih egaliter, transparan, dan akuntabel.
Para calon politisi dan pemilih punya ruang saling mengenal, menyerap, mempertukarkan aspirasi dan gagasan politik, dan pada akhirnya menjadi insentif munculnya para calon politisi yang mengakar ke bawah.
Mereka inilah yang kelak mampu mengartikulasikan aspirasi pemilih menjadi kebijakan yang menyejahterakan.
Ambivalensi Penegakan Hukum
Kedua, ambivalensi dan inkonsistensi penegakan hukum dalam dua bentuk.
Pertama, dalam produk pelanggaran administrasi. Dalam pemilu produknya berbentuk putusan Bawaslu yang sifatnya mandatory, tetapi pada pemilihan produknya berbentuk rekomendasi Bawaslu Provinsi yang sifatnya fakultatif untuk dilaksanakan KPU.
Padahal, secara regulatif pelanggaran administrasi pemilu dan pemilihan sesungguhnya memiliki defenisi yang sama.
Ironisnya dalam hal pelanggaran administratif bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang defenisinya berbeda.
Dalam pemilu didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu yang terjadi secara TSM.
Sementara dalam pemilihan didefenisikan sebagai praktik politik uang TSM, bentuk produknya justru sama yakni putusan, yang bisa dilakukan upaya hukum akhir ke Mahkamah Agung.
Hal ini mengakibatkan belum adanya standar atau bobot keadilan yang sama bagi pencari keadilan dalam penanganan pelanggaran administrasi pada pemilu dan pemilihan.
Kedua, dalam putusan antarlembaga penegak hukum. Apa yang terjadi dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah Boven Digul 2020 (sengketa pertama) dan sengketa penetapan hasil Pemilu 2019 DPRD Provinsi Dapil Kalimantan Barat 6 (sengketa kedua) mendeskripsikan itu.
Pada sengketa pertama, misalnya, putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan Bawaslu Boven Digul berbeda dalam memutus perkara tentang syarat calon mantan terpidana.
Sementara pada sengketa kedua, putusan MK berbeda dengan putusan Bawaslu tentang pelanggaran administrasi yang berimplikasi pada perubahan perolehan suara, dan justru terbit pasca putusan MK.
Selain memicu ketidakpastian hukum, kondisi ini menyebabkan terjadi inefisensi karena harus dilaksanakan pemungutan suara ulang (pada sengketa pertama).
Kondisi ini juga potensial ”mengorbankan” penyelenggara, sebagaimana terjadi pada pemberhentian tetap salah satu anggota KPU oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) (pada sengketa kedua).
Kerangka hukum mestinya menegaskan pengaturan standar sama dalam penanganan pelanggaran admininistrasi pemilu dan pemilihan, menegaskan limitasi waktu penanganannya, dan mengkonsolidasikan kembali desain, tugas, dan kewenangan antar lembaga penegak hukum pemilu dan pemilihan.
Ketiga, inkonsistensi penegakan kode etik.
Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa DKPP bukan lembaga peradilan dan karena itu sifat final dan mengikat putusan DKPP tidak sama dengan sifat final dan mengikat putusan lembaga peradilan.
Putusan DKPP hanya final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu.
Dengan kata lain, korban yang terkena sanksi punya hak untuk mencari keadilan terhadap keputusan presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu yang menindaklanjuti putusan DKPP.
Namun, Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 tersebut belum diakomodasi dalam kerangka hukum.
Akibatnya, korban sanksi putusan (pemberhentian tetap) DKPP seolah tidak memiliki hak dan ruang mencari keadilan.
Penyelenggara yang mencari keadilan bahkan dipandang melakukan pembangkangan hukum, sebagaimana yang dialami anggota KPU, Evi Novida Ginting.
Evi menggugat keputusan presiden dan putusan DKPP tentang pemberhentian tetapnya dan kemudian dikabulkan dan dipulihkan kembali lewat putusan Tata Usaha Negara dan keputusan presiden, tetapi tidak direhabilitasi oleh putusan DKPP.
Inkonsistensi kerangka hukum untuk melindungi hak penyelenggara mencari keadilan akibat putusan DKPP yang tidak prudent selain mencederai prinsip equal before the law, juga mengingkari prinsip demokrasi check and balance, yakni saling mengontrol dan menjaga keseimbangan antar LPP.
Penyempurnaan Kerangka Hukum
Keempat, kerangka hukum belum sepenuhnya melegalisasi penggunaan sistem informasi dan teknologi (IT) guna mewujudkan pemilu dan pemilihan yang lebih mudah, akurat, dan efisien.
Ibarat kepala dilepas, namun ekor diikat.
Akibatnya, sejumlah inovasi dan terobosan yang diinisiasi KPU, seperti penggunaan Sistem Informasi Parpol (Sipol), Sistem Informasi Pencalonan (Silon), dan yang terbaru Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap), atau inisiatif penyederhanaan surat suara, bulum optimal karena tersandera kerangka hukum.
Apabila tak diantisipasi, sejumlah gangguan laten tersebut bisa nyata mengganggu Pemilu dan Pemilihan 2024. Pemerintah (bersama DPR) baiknya fokus mengantisipasi dan membenahi gangguan laten tersebut dengan menyempurnakan kerangka hukum secara terbatas.
Desain teknis jadwal Pemilu dan Pemilihan 2024 biarlah dirancang dan dituntaskan KPU sesuai dengan tugas konstitusionalnya.
Prolegnas 2021 yang belum mengagendakan revisi kerangka hukum seharusnya tidak menjadi kendala.
Sejumlah revisi UU, salah satunya revisi UU KPK yang tidak masuk Prolegnas 2019, faktanya bisa selesai dengan cepat karena pemerintah dan DPR punya political will.
Penyempurnaan kerangka hukum tentu harus selesai tahun ini sehingga pada 2022 LPP berkonsentrasi menyiapkan dan memulai tahapan Pemilu 2024. (Benget Manahan Silitonga, Anggota KPU Provinsi Sumatera Utara, 2013-2018 dan 2018-2023)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Gangguan Laten Pemilu dan Pemilihan 2024”. Klik untuk baca: Gangguan Laten Pemilu dan Pemilihan 2024 - Kompas.id.