Oleh MOH RASYID
Baca Juga:
BMKG: Hujan Petir Mengancam, Sebagian Besar Indonesia Siap-siap Basah!
ADA cerita menarik di Indonesia, khususnya ketika musim hujan tiba.
Cerita itu mengisahkan tentang banjir dan hujan.
Baca Juga:
Benarkah Hujan Dapat Pengaruhi Perasaan Seseorang? Begini Penjelasan Psikolog
Di negara yang beriklim tropis ini, banjir dan hujan selalu dipandang secara sinergi.
Di mana ada hujan, di situlah terjadi banjir bandang.
Ringkasnya, hujan mendatangkan bencana.
Ketika banjir dan longsor melanda Deli Serdang belum lama ini, Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi mengeluarkan pernyataan ”imajiner” di hadapan awak media.
Pihaknya sangat prihatin dan meminta agar Allah SWT menghentikan hujan deras yang memicu bencana.
Pernyataan ini adalah salah satu bukti bahwa cerita menarik itu benar adanya: hujan mendatangkan bencana.
Melacak Akar Teologis
Manusia beragama meyakini akan keberadaan Tuhannya.
Keyakinan itu kemudian turun ke wilayah akidah sehingga membentuk keyakinan selanjutnya bahwa Tuhannya adalah Maha Baik.
Kemahabaikan Tuhan secara normatif tersurat dalam firman-firman-Nya.
Manusia beragama pasti melakukan apa yang oleh Leibniz (1710) disebut ”teodisi”, yaitu kecenderungan untuk membela kemahabaikan serta kemahakuasaan Tuhannya.
Dalam Islam, Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Rahman (Pengasih) dan Rahim (Penyayang).
Nabi Muhammad SAW adalah Rasul yang diutus untuk mewujudkan hidup baik.
Dan Al Quran adalah Kitab Suci Rahmat yang diturunkan juga untuk mewujudkan hidup baik.
Bukti konkret kemahabaikan-Nya terwujud dalam benda-benda di atas permukaan bumi, baik yang kasatmata maupun abstrak.
Benda-benda itu terdiri atas berbagai spesies, semua berada pada sistem yang seimbang.
Dalam teologi Islam, Allah SWT tidak akan menciptakan bumi dan seisinya tanpa alasan.
Dan tidak satu pun ciptaan-Nya yang sia-sia, tetapi saling terkait kelindan dan memberi manfaat satu sama lain (QS. 3:191).
Hujan merupakan salah satu benda ciptaan Tuhan yang kasatmata.
Rintik air yang turun menjadikan bumi tetap hijau dan segar.
Berbagai spesies di atas bumi bisa hidup, bertumbuh dan berkembang berkat hujan.
Tetapi hujan, bagi sementara orang, akan melahirkan bencana apabila berlebihan.
Curah hujan dengan intensitas yang tinggi ”dicurigai” sebagai faktor utama terjadinya banjir bandang.
Sepintas pandangan itu tampak benar.
Namun, status kebenarannya tidak bisa dibaca secara tunggal dan final.
Ada proses determinasi yang mengitarinya.
Dalam teori geografi, tanah mempunyai kemampuan infiltrasi, yaitu proses penyerapan air hujan ke dalamnya.
Curah hujan tinggi dengan durasi yang lama, sementara kemampuan infiltrasi tanah kecil, berpotensi besar bagi terjadinya banjir bandang.
Ada beragam faktor yang memengaruhi kemampuan infiltrasi menurun.
Bisa karena alih fungsi lahan produktif menjadi permukiman, semakin minimnya kawasan hijau yang ditumbuhi pepohonan, atau karena kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Kita ambil contoh kasus banjir bandang yang melanda Kota Batu, Jawa Timur, pada 4 November 2021, yang menurut pakar kebencanaan UGM, Prof Suratman, disebabkan gangguan ekosistem akibat alih fungsi lahan menjadi permukiman di wilayah itu.
Peningkatan jumlah penduduk melebihi daya lindung lingkungan serta kemampuan daya serap tanahnya.
Teosentrisme vs Antroposentrisme
Jika teosentrisme memusatkan segala kejadian di muka bumi pada kehendak Tuhan, maka antroposentrisme membalikkannya pada kekuasaan penuh manusia.
Paham yang pertama terwujud dalam pandangan bahwa segala kejadian di muka bumi adalah murni kehendak-Nya, sedangkan paham yang kedua terwujud dalam pandangan bahwa manusia bebas bertindak apa saja, semaunya.
Dalam konteks kebencanaan, dua-duanya sama-sama membahayakan.
Seperti yang terjadi pada sebagian masyarakat kita, teosentrisme menggiring pada keyakinan bahwa banjir murni kehendak-Nya melalui perantara hujan.
Konsekuensinya, seolah tidak ada beban ”salah” pada diri manusia karena sudah terlimpahkan pada kehendak-Nya.
Sebaliknya, antroposentrisme membuat manusia merasa bebas mengeksploitasi aset-aset alam tanpa batas sehingga mereka abai terhadap tanggung jawab sosialnya untuk merawat alam dengan baik.
Kedua sikap tersebut sama-sama berlebihan dalam memosisikan wilayah ketuhanan dan kemanusiaan.
Baik teosentrisme maupun antroposentrisme, tidak relevan bagi upaya penanggulangan bencana.
Teologi Bencana
Dibutuhkan sikap moderat untuk bisa menengahi kedua paham di atas.
Untuk meraih sikap moderat, kita harus keluar dari pemahaman yang bercorak teosentris di satu sisi dan antroposentris di sisi yang lain.
Secara konseptual, sikap moderat ini saya namai ”teologi bencana”.
Teologi bencana adalah konsep yang berbasis pada ajaran wahyu terkait persoalan bencana.
Teologi sebagai kekuatan iman yang relevan dengan konteks sosial-ekologis.
Teologi yang berangkat dari kebutuhan, realitas, serta tantangan-tantangan yang dihadapi umat manusia saat ini, bukan dulu atau nanti.
Teologi bencana dalam konteks Islam meyakini bahwa bencana-bencana alam merupakan ”desain” Tuhan di Lauhul Mahfuz (QS. 57: 22).
Namun, tidak berarti manusia lantas boleh ”mengambinghitamkan” Tuhan karena segala sifat-Nya pada prinsipnya adalah baik, sementara aktualisasi terjadinya bencana (banjir) yang dalam konteks teguran atau siksaan lebih disebabkan ulah tangan manusia yang kufur, abai terhadap tanggung jawab sosial dan hukum-hukum alam (supremasi sanis) atau sunnatullah (QS. 42: 30).
Selama beberapa bulan terakhir ini Bumi Pertiwi tidak henti-hentinya dirundung banjir bandang.
Ruang-ruang hidup rakyat tergadaikan.
Ratusan bahkan ribuan korban jiwa berjatuhan.
Rupa-rupanya di tengah suasana duka ini, kita, khususnya para pemimpin negeri perlu mengevaluasi kembali pikiran, tindakan, dan kebijakannya tanpa harus ”mengambinghitamkan” Tuhan di balik bencana alam.
Kemajuan sains, teknologi informasi, dan pembangunan ekonomi merupakan kebutuhan manusia modern yang membutuhkan sikap teologis yang tepat.
Agar penyelenggaraannya tidak justru mendatangkan dua kesalahan fatal sekaligus; mendistorsi bangunan teologi dan menambah deret hitung bencana-bencana alam di Tanah Air. (Moh Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Hujan, Banjir, dan Distorsi Teologi”. Klik untuk baca: Hujan, Banjir, dan Distorsi Teologi - Kompas.id.