DI tengah dunia yang semakin modern, kita sering membanggakan pencapaian perempuan: tingkat pendidikan meningkat, akses pekerjaan lebih terbuka, ruang berpendapat makin luas.
Namun ada satu pola yang terus berulang, begitu halus hingga sering kita anggap wajar: perempuan diadu dengan perempuan lain.
Baca Juga:
Empat Alasan Penting Perempuan Harus Berdaya dan Mandiri Secara Finansial
Mulai dari sekolah, tempat kerja, hingga relasi romantis, perempuan seakan dibesarkan dalam atmosfer kompetisi yang melelahkan, bukan untuk meraih mimpi, tetapi untuk mengalahkan sesamanya.
Riset-riset sosial terkini menunjukkan bahwa dinamika ini bukan sekadar karakter atau “bawaan” perempuan, tetapi hasil konstruksi sosial yang sudah mengakar.
Lingkungan kita, baik budaya maupun media, sering kali meneguhkan narasi bahwa nilai seorang perempuan ditentukan oleh dua hal: penampilan dan relasi.
Baca Juga:
Mengenal Lebih Dekat Kanker Payudara yang Diderita Mpok Alpa
Akibatnya, banyak perempuan tumbuh tanpa kesempatan memahami nilai dirinya secara penuh, lalu mencari validasi dari sumber-sumber yang rapuh, termasuk dari relasi yang tidak sehat.
Salah satu manifestasi paling sunyi dari masalah ini adalah kecenderungan sebagian perempuan untuk terlibat dalam relasi dengan laki-laki yang sudah berpasangan.
Tidak semua kasus sama, tentu. Ada yang naïf, ada yang tersesat, ada yang terjebak dinamika manipulative. Tetapi di balik variasi itu, ada pola besar yang tak bisa kita abaikan: perempuan yang tidak pernah diajarkan bahwa mereka layak dicintai tanpa harus merebut posisi perempuan lain.
Di sinilah akar persoalannya. Selama kita masih membiarkan narasi bahwa perempuan harus bersaing, maka luka sosial ini akan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Upaya memperbaikinya tak bisa hanya lewat ceramah moral, tetapi melalui pendidikan emosional yang konsisten sejak dini, di rumah, di sekolah, dan di ruang publik.
Jika kita sungguh ingin memutus siklus ini, maka kita perlu mulai mengajarkan anak perempuan bahwa mereka berharga tanpa harus bersaing dengan perempuan lain; bahwa harga diri bukanlah sebuah kompetisi.
Mereka perlu memahami bahwa kecerdasan dan integritas jauh lebih penting daripada penampilan yang sewaktu-waktu bisa memudar.
Kita juga perlu menanamkan bahwa mereka berhak berkata “tidak”, karena batasan adalah bentuk cinta pada diri sendiri.
Penting pula bagi mereka untuk mengetahui bahwa cinta yang sehat tidak menyakiti perempuan lain, dan hanya mereka yang benar-benar mengetahui nilai dirinya yang mampu memilih relasi yang sehat.
Pada akhirnya, mereka mesti diyakinkan bahwa validasi terbaik datang dari pencapaian, bukan dari relasi dengan seseorang yang sudah berpasangan; karena validasi eksternal hanyalah bonus, bukan fondasi.
Semuanya kembali pada prinsip yang amat sederhana: perempuan tidak harus saling menjatuhkan untuk menjadi berharga. Kita bisa menciptakan budaya yang lebih sehat, budaya yang merayakan integritas, menguatkan batasan pribadi, dan menegaskan bahwa relasi yang baik tak pernah lahir dari luka orang lain.
Anak perempuan kita berhak tumbuh sebagai pribadi yang utuh, bukan sebagai produk dari ekspektasi sosial yang timpang. Dan perjalanan itu, sesungguhnya, dimulai dari rumah.
Penulis, Wakil Pemimpin Redaksi WahanaNews.co