DI era digitalisasi, sebagian birokrasi mengklaim bahwa semua layanan publik bisa diakses lewat ujung jari.
Tapi, coba urus administrasi kependudukan, izin usaha, atau sekedar mengajukan validasi tandatangan pejabat saja, yang diutamakan bukan data pribadi, tapi ‘kode transfer pribadi’.
Baca Juga:
Satgas Cartenz Ringkus Male Telenggen, Sosok di Balik Penembakan Serka Jefri
Ironis? Tidak. Inilah Konoha. Di sini, kecepatan pelayanan berbanding lurus dengan ketebalan amplop. Semakin tebal, semakin ‘mulus’. Tanpa amplop? Bersiaplah jadi fosil di atas meja atau di belakang loket.
Ini bukan asumsi. Ini budaya. Bahkan beberapa oknum aparatur sipil negara (ASN) rasanya lebih profesional dalam mengelola ‘tarif tidak resmi’ daripada mengelola pelayanan rakyat.
Ada yang bilang ini pungutan liar (pungli). Tapi ada yang membela diri, ini hanya sebatas ungkapan ‘Terima Kasih’ atas pemberian layanan yang tetap butuh waktu, tenaga, dan pikiran.
Baca Juga:
Oknum Polantas Medan Dihukum Guling-guling di Aspal Gegara Pungli Rp100 Ribu
Halus sekali bukan? Tapi tetap saja bikin masyarakat kepikiran, kalau tak ada ‘dorongan’, alamat urusan tak kelar.
Apa kabar sistem merit? Transparansi? Integritas? Mungkin semua itu hanya slogan yang dicetak tebal di dinding kantor, tapi dikencingi di belakang meja. Hanya sebagai slogan pemanis, agar ruang pelayanan nampak humanis.
Fakta yang lebih menyedihkan, masyarakat akhirnya pasrah. Kita tak lagi kaget, justru bingung kalau urusan beres tanpa dimintai apa-apa.
Mental “daripada ribet, kasih aja deh” sudah mengakar. Inilah bentuk nyata dari birokrasi beraroma kapitalisme jalan tikus: jalur resmi lambat, jalur basah cepat.
Mereka lupa, pelayanan publik itu hak rakyat, bukan ladang panen bagi para pemegang stempel.
Tapi ya sudahlah, selama rakyat masih disuruh ‘sabar’ dan ‘ngerti prosedur tak tertulis’, artinya kita masih hidup di negeri dimana sistem dibuat untuk diputar, bukan untuk dijalankan.
Agak miris memang! Tapi, inilah ‘the real’ pelayanan birokrasi. Begitu pamrihnya oknum-oknum yang sudah menjadi pekerjaannya untuk melayani, malah justru berharap ‘diberi’.
Padahal mereka digaji oleh rakyat yang babak belur membayar pajak.
Tapi, sebatas urus berkas bermodalkan kertas, harus turut pula menukar lembar kertas bernominal agar si pekerja tersenyum lebar dan semangat.
Lantas, bagaimana kita menyikapinya? Sepertinya belum ada jawaban bijak dan logis atas keresahan ‘transaksi birokrasi’.
Toh, ini sudah menjadi ‘habit’. Digitalisasi dijalankan, amplopisasi tetap dipertahankan. Demi urusan lancar, mereka senang, kita (sedikit) tenang. [*]
Penulis adalah seorang Jurnalis