Oleh YUKIE H. RUSHDIE
Baca Juga:
Siswa Dibully hingga Masuk RS, SMK Gorontalo Sebut Tak Ada Perundungan
BISMA, atau Bhisma, dalam Bahasa Sanskerta berarti “mengerikan” atau “mengundang ketakutan”, karena ia amat disegani musuh-musuhnya dan keberaniannya ditakuti oleh para kesatria pada masanya.
Semasa muda, ia bernama Dewabrata, atau Dévavrata, yang berarti “disukai para dewa”.
Baca Juga:
Buletin Dakwah HTI Disita Densus 88 dari Terduga Teroris Gorontalo
Nama itu diganti jadi Bisma sejak ia melakukan bishanpratigya, sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya, demi mencegah perselisihan antara keturunannya dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya.
Maka, Bhisma pun dapat berarti “yang sumpahnya dahsyat atau hebat”!
Kini, di zaman yang sudah jauh berbeda, lebih modern dan teknologis, muncullah sosok Risma.
Meski bukan Rhisma, melainkan Tri Rismaharini, dan mungkin juga tak ada maknanya dalam Bahasa Sanskerta, namun --dengan teori plesetologi-- bisa saja Risma itu adalah “modernisasi” atau “teknologisasi” dari arti yang terkandung pada Bisma.
Betapa tidak?
Tri Rismaharini, atau Risma, yang merupakan pejabat karir di Pemkot Surabaya, Jawa Timur, ini mencatat segudang prestasi di dunia birokrasi yang bisa membuat para penyinyirnya emosi.
Sebentar… emosi? Itu bukan tipikal para penyinyirnya.
Emosi, justru, jadi tipikal Risma sendiri.
Artinya, belum sempat para penyinyirnya emosi, Risma sudah lebih dulu mengobralnya, dengan telunjuk yang lurus menunjuk, bersama delikan mata yang tajam menerpa, dan suaranya meraung membuat setiap telinga berdengung.
Mengerikan, dan mengundang ketakutan, begitulah makna kata Bhisma, dan seperti itulah Risma.
Bahwa karir Risma terus melejit, dari Wali Kota Surabaya ke Menteri Sosial, itu pun fakta yang bisa membuat para penyinyirnya sulit berkelit.
Fakta itu jualah yang kemudian menjelmakannya menjadi ibarat Dewabrata, nama Bisma di masa muda, yang bermakna “disukai para dewa”.
Di setiap jenjang karir, seperti juga para pejabat lainnya, Risma pun --tentu saja-- selalu mengawalinya dengan sumpah, janji, atau sumpah janji.
Entah sudah berapa kali ia mengucap sumpah jabatan, sejak menjadi Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya pada tahun 1997, hingga didapuk sebagai Menteri Sosial di tahun 2020.
Dan, selama itu pulalah telunjuk Risma lurus menunjuk, matanya mendelik tajam menerpa, dan suaranya meraung membuat setiap telinga berdengung, demi menjaga setiap larik dari janji sucinya tadi.
Menjaga sumpah dengan serapah, mengawal janji lewat caci maki, sepertinya sudah melekat dalam dirinya.
Namun, tentu saja, bila bicara pada hasil, tentunya itu lebih baik ketimbang melanggar sumpah dengan pepatah, atau mencederai janji lewat aksi simpatik.
Sampai di titik ini, tiba-tiba saja saya terhenyak, bukankah gaya Risma itu menyerupai makna lain dari kata Bhisma, yakni “yang sumpahnya dahsyat atau hebat”?
Entahlah.
Dengan keterbatasan pandangan mata dan kedalaman hati, saya hanya mencoba untuk berpikir positif tentang aksi teranyar Risma di Gorontalo.
Menutup catatan ini, saya ingin mengutip pandangan Suleman Bouti, seorang budayawan yang juga pengajar di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo.
“Biarkan Bu Risma dengan gaya marah-marahnya, kita ambil positifnya bahwa orang Gorontalo terbuka untuk dimarahi kalau salah. Orang Gorontalo merasa berterima kasih kepada yang datang marah-marah asal untuk kebaikan,” kata Suleman Bouti.
Sebuah statement yang adem sangat.
Karena, saya yakin, Risma sendiri bukan sedang memarahi orang Gorontalo, apalagi suku Gorontalo.
Dia sedang memarahi orang yang salah, apapun KTP-nya, dari manapun sukunya… (Yukie H. Rushdie, Pemimpin Redaksi WahanaNews)-yhr