DI era yang mungkin sudah cenderung lebih nyata di dunia maya dibanding kehidupan nyata itu sendiri, banyak hal yang kemudian membuat seseorang lebih suka terlibat secara langsung dalam dunia maya dibanding dunia nyata.
Positifnya, dunia maya masa kini bisa dikatakan sudah memberikan banyak manfaat signifika selain daripada eksistensi dan informasi, bahkan sudah menjadi wadah dan ladang pencarian validasi dan penghasilan yang mampu mengubah ekonomi kehidupan seseorang.
Baca Juga:
Keluarga Pertanyakan Prosedur Laras Faizati Jadi Tersangka Penghasut
Tapi dibalik itu, muncul pula sisi-sisi negatif yang mungkin tidak banyak orang sadari akan tindakannya dalam menggunakan dan memanfaatkan media sosial yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan kerugian moril, khususnya hal yang dinilai sepele — tapi sangat berpengaruh, yakni privasi.
Bisa dilihat, ada sebagian orang yang terindikasi melakukan pelanggaran hak privasi terhadap seseorang lainya. Misal, seorang fotografer atau videografer, atau bahkan personal yang kemudian mengambil atau mendokumentasikan seseorang tanpa izin, bahkan tanpa konfirmasi atau kompromi.
Sehingga hal tersebut terindikasi melanggar hak privasi seseorang.
Karena bisa jadi, seseorang yang mengambil atau mendokumentasikan kegiatan atau wajah seseorang lainnya tanpa izin, bisa saja kemudian memanfaatkan hasil dokumentasinya tersebut untuk kepentingan pribadi yang mungkin menghasilkan income dari media sosial.
Baca Juga:
Nekat Terobos Dua Tol Sekaligus, Pengemudi Calya Putih Akhirnya Ketahuan Juga!
Sebagai contoh, fotografer atau videografer memposting hasil karyanya tersebut di media sosial, kemudian mengundang banyak viewers, likers, atau repost oleh orang-orang lainnya pengguna media sosial. Kemudian, muncul seseorang yang merasa wajahnya atau aktivitasnya ada dalam dokumentasi tersebut, merasa keberatan atau bahkan marah karena dirinya terposting atau terpublis di media sosial orang lain tanpa pernah ada konfirmasi atau izin sebelumnya.
Jika dilihat dari sisi harfiah, tentu saja itu menjadi indikator pelanggaran hak privasi seseorang dan tidak mengindahkan etika. Pasalnya, secara dasar, manusia memiliki hak privasi tanpa harus ada aturan baku yang harus ditekankan atau diungkapkan. Karena sejatinya, manusia harus hidup dengan memegang teguh etika dalam kehidupan sosial. Jika seseorang melakukan tindakan tidak etis, bisa saja hal tersebut digiring dalam proses hukum.
Tapi sayangnya, hukum di negara +62 ini pun terbilang absurd. Karena, jika seseorang mengadukan atau melaporkan tindakan pelanggaran hak privasi, mungkin bisa masuk dalam katerogi perbuatan tidak menyenangkan. Tapi dalam implementasinya, hukum tersebut bisa dikatakan hanya sebatas formalitas dan bisa disebut "Hukum Karet" karena tidak ada kepastikan hukumnya.
Divalidasi dengan kinerja penegak hukum yang tidak bisa diandalkan atau diharapkan sama sekali. Membuat seseorang yang merasa dirinya mendapati tindakan pelanggaran hak privasi atau perbuatan tidak menyenangkan dan berusaha untuk mendapatkan keadilan lewat instansi penegak hukum, hanya mendapat "Hembusan Angin".
Miris memang!
Tapi hal tersebut bukan teori semata. Pasalnya benar terjadi, dan tidak sedikit orang yang mengalaminya. Sebagai contoh nyata, pengalaman sang penulis yang secara langsung pernah mengalami tindakan pelanggaran hak privasi, bahkan dilingkup ruang pribadinya, dalam hal ini di kediamannya sendiri.
Suatu hari, saat tengah bersantai di teras rumah yang memang tidak ada pembatas (pagar) sembari menikmati sebatang rokok (FYI, penulis seorang perempuan). Kemudian, tepat disebelah rumahnya, muncul seorang bapak tua yang kemudian memegang ponselnya dengan mengarah kepada di penulis.
Nampak gerak-gerik si bapak tua tersebut seperti seorang yang tengah merekam aktivitas penulis yang sedang merokok. Dan bisa dipastikan, si bapak tua tersebut memang tengah merekam aktivitas penulis. Penulis yang menyadari hal tersebut, merasa risih dan geram.
Hanya saja, tidak banyak yang bisa dilakukan, lantaran penulis masih menjaga etika untuk tidak menegur atau melabrak si bapak tua. Karena, si bapak tua merekam dari area tempat tinggalnya yang bersebelahan dengan rumah penulis.
Contoh kasus nyata lainnya, ketika penulis melihat 'story whatsApp' seorang gadis yang memposting foto anak penulis. Dimana penulis sendiri tidak tau kapan anaknya difoto oleh gadis tersebut yang kemudian diposting di platform komunikasi pribadinya dengan captions seolah-olah sang anak menyukai atau bertingkah 'nurut' terhadap si gadis.
Hal tersebut tentu saja membangkitkan ketersinggungan penulis sebagai ibu kandung lantaran wajah sang anak menjadi konsumsi publik si gadis. Tapi setidaknya, penulis bisa menegur langsung dan meminta si gadis untuk menghapus postingannya tersebut.
Dalam perjalanannya, mungkin masih banyak hal-hal yang berpotensi melanggar hak privasi bagi setiap orang. Entah itu masuk dalam kategori pelaku atau korban. Yang tentu saja, belum ada hukuman signifikan untuk pelaku dan keadilan bagi korban.
Bahkan, jika ditilik lebih dalam, disadari atau tidak, negara sendiri masuk dalam ketegori pelanggaran hak privasi warga negaranya lewat Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang didalamnya terdapat informasi yang bersifat privasi, seperti agama, alamat, bahkan status perkawinan.
Tapi, warga bisa apa? Karena, KTP sendiri menjadi kewajiban utama bagi seorang warga yang tinggal di negara +62 ini. Semoga saja, potensi-potensi pelanggaran hak privasi seseorang bisa lebih terminimalisir oleh pribadi yang menerapkan etika dan 'awareness' dalam setiap perilakunya. Terlebih, di era massifnya media sosial yang menjadi ruang publik paling terbuka dan bebas di masa kini.
Penulis adalah Journalist of WahanaNews.co
Mahasiswi STIAMI Kampus A Bekasi
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]