Oleh ERI HENDRO KUSUMA
Baca Juga:
Sebanyak 587 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Raja Ampat Mengikuti Orientasi Nilai dan Etika
PAK Guru itu bernama Sartono.
Pada tahun 1980-an beliau menciptakan lagu yang berjudul "Hymne Guru".
Baca Juga:
Kemendikbudristek Buka Seleksi PPPK Guru 2023, Simak Syarat dan Kategori Pelamarnya
Sebuah lagu wajib, yang hingga kini selalu dinyanyikan di setiap jenjang pendidikan di negeri ini.
Namun sayang, sampai akhir hayatnya tidak diangkat menjadi seorang Guru Pegawai Negeri Sipil (PNS), meskipun telah berhasil membuat karya yang sangat fenomenal untuk negeri ini.
Dari kisah Pak Guru Sartono tersebut, sesungguhnya dapat menjadi bahan refleksi kita dalam menghargai keberadaan guru-guru honorer di Indonesia.
Belakangan ini saya banyak sekali mendapatkan pesan WhatsApp dari teman-teman guru honorer yang akan mengikuti tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Mereka rata-rata meminta doa agar dapat lolos passing grade yang ditetapkan pemerintah.
Setelah selesai mengikuti tes, tak jarang saya melihat WhatsApp Story mereka dengan berbagai macam emoticon menangis dengan ditambahi kata-kata "yang penting sudah berusaha".
Benar saja, ketika saya tanya memang hasil tesnya tidak memenuhi passing grade.
Raut wajah kecewa juga ditunjukkan rekan guru honorer di sekolah tempat saya mengajar.
Dia juga tidak lolos passing grade pada salah satu komponen tes.
Rekan saya ini adalah guru yang tergolong loyal pada sekolah.
Dia juga sudah banyak berhasil mengantarkan peserta didik untuk meraih prestasi di bidang olahraga.
Mungkin karena istrinya baru melahirkan anak pertamanya sehingga pada saat tes dia kurang maksimal dalam mengerjakan soal sampai akhirnya harus menerima kenyataan jika nilainya tidak bisa memenuhi passing grade.
Memang jika mengacu pada aturan perekrutan PPPK Guru, apabila ada guru yang tidak lulus pada gelombang pertama, guru tersebut berhak mengikuti tes pada gelombang kedua dan ketiga.
Akan tetapi mekanisme untuk gelombang kedua dan ketiga sudah berubah dan berbeda dengan gelombang pertama.
Jika pada tes gelombang pertama guru di sekolah induk tidak ada pelamar lain selain guru di sekolah tersebut, maka untuk gelombang kedua dan ketiga sudah bersaing dengan pelamar dari sekolah lain.
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) dalam rapat kerja bersama dengan DPR beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa sekitar 100.000 guru honorer telah lolos menjadi guru PPPK dari total 326.476 formasi yang ada pelamar.
Artinya, masih ada 226.476 guru honorer yang tidak bisa memenuhi passing grade yang ditentukan untuk menjadi guru PPPK.
Banyaknya guru honorer yang tidak bisa memenuhi passing grade tersebut akhirnya memunculkan banyak protes dari berbagai kalangan, termasuk guru honorer itu sendiri.
Tanpa Payung Hukum
Protes tersebut sangatlah wajar, mengingat kemampuan finansial guru honorer yang memprihatinkan.
Standar pendidikan seorang guru yang disyaratkan minimal strata satu, akan tetapi gaji yang didapat Rp 300.000.
Jangankan untuk membeli buku demi meningkatkan mutu, untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja masih jauh dari mampu.
Belum lagi keberadaan guru honorer yang cukup lama itu, mereka berjalan tanpa ada payung hukum yang jelas.
Tetapi hebatnya mereka bisa mengantarkan siswanya menjadi aparat penegak hukum dan pembuat produk hukum.
Salah seorang teman bercerita pada saya, jika dahulu pada saat ikut berunjuk rasa menuntut perlindungan hukum bagi guru honorer, dia harus berhadapan dengan aparat kepolisian yang beberapa diantaranya adalah siswanya dahulu di sekolah.
Teman yang lain punya pengalaman berbeda, saat mengikuti tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) harus bersaing dengan siswanya sendiri.
Siswa tersebut menghampiri dan salim, sambil bertanya, "Bapak yang jaga di ruangan tes ini?"
Tentu teman saya tersebut sudah pasti bingung menjawab pertanyaan itu.
Saya juga mengalami hal yang sama, ketika mengikuti tes harus berkompetisi dengan salah seorang siswa saya.
Rasanya jelas campur aduk antara mundur untuk mengalah, malu jika tidak lulus, dan lain sebagainya.
Saya merasakan betul bagaimana kehidupan menjadi seorang guru honorer.
Kerjanya "sama" tetapi fasilitas yang diterima "berbeda".
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari tentu tidak cukup dari gaji menjadi guru honorer.
Akhirnya saya juga harus nyambi jualan baju daster dan jualan nasi bungkus.
Saya sebenarnya juga bingung, mengapa bisa bertahan hampir 10 tahun menjadi guru honorer?
Mungkin apa karena terikat dengan kalimat "tanpa tanda jasa"?
Atau ini adalah "panggilan jiwa"?
Mengingat sebelum jadi guru, saya adalah seorang karyawan di perusahaan swasta yang gajinya pada saat itu boleh dibilang lebih dari cukup.
Menanggapi polemik perekrutan Guru PPPK saat ini, saya rasa memang perlu menaikkan persentase nilai afirmasi bagi guru honorer yang telah mengabdi sangat lama di sekolah.
Akan tetapi saya kurang setuju jika pemberian afirmasi itu secara penuh 100 persen.
Bagi saya standarisasi kualitas guru itu sangat perlu.
Karena guru adalah ujung tombak kualitas pendidikan kita.
Sebagus apa pun kurikulumnya, jika gurunya tidak mampu menerjemahkan dan menerapkan dalam sebuah proses pembelajaran, maka tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan.
Selain itu juga sebagai filtrasi, sehingga ke depan kita tidak lagi membaca berita tentang perilaku imoral yang dilakukan oleh oknum guru.
Sehingga bagi saya standarisasi pendidikan nasional itu tergantung dari kualitas seorang guru, dan kualitas guru itu tergantung terpenuhinya kebutuhan hidup yang layak bagi seorang guru. (Eri Hendro Kusuma, Guru di SMPN Satu Atap Pesanggrahan 2 Kota Batu, Jawa Timur)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Memahami Protes Guru”. Klik untuk baca: Memahami Protes Guru Honorer - Kompas.id.