Oleh: Hendry Ch Bangun - Ketua Umum PWI Pusat
WahanaNews.co | Tanggal 9 Februari 1946 yang menjadi dasar penetapan Hari Pers Nasional (HPN) melalui Keputusan Presiden no 5 tahun 1985, adalah sebuah peristiwa besar. Bukan hanya bagi pers nasional tapi juga bangsa Indonesia.
Baca Juga:
PWI Kalsel Usulkan Ketahanan Pangan Jadi Isu Penting dalam Gelaran HPN 2025
Pihak-pihak yang tidak menyukai HPN karena tanggal 9 Februari adalah hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengatakan, untuk apa memperingati hari kelahiran organisasi yang terkooptasi di era Orde Baru, yang tidak lagi relevan karena saat ini ada puluhan organisasi wartawan, tidak lagi sesuai dengan semangat reformasi yang dikandung dalam Undang-Undang tentang Pers no. 40 tahun 1999. Tidak juga sesuai karena sebelum PWI lahir telah banyak berdiri organisasi wartawan di zaman penjajahan seperti Perdi (Persatuan Djurnalis Indonesia).
Bahkan seperti yang ditulis Leo Sabam Batubara, ada orang seperti Tirto Adhi Surjo yang mendirikan Medan Prijaji, Dja Endar Moeda yang mendirikan Pertja Barat sampai Pewarta Deli. Dikaitkan pula dengan lahirnya Kantor Berita Antara oleh Adam Malik, Soemanang, AM Sipahoetar, Pandoe Kartawigoena yang misinya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang mungkin pantas diperingati sebagai Hari Pers Nasional. Ada sederetan kejadian yang dapat dijadikan HPN dengan argumen dan jalan pikiran yang masuk akal meski belum tentu pas.
Dengan logika Leo S Batubara di atas mungkin tidak salah pula apabila ada pihak yang mempersoalkan mengapa Hari Pahlawan ditetapkan tanggal 10 November karena ada begitu banyak pertempuran setelah kemerdekaan Republik Indonesia yang merenggut ribuan nyawa bangsa Indonesia seperti peristiwa Bandung Lautan Api atau pembantaian puluhan ribu warga Sulawesi Selatan oleh Westerling.
Baca Juga:
Peringati Hari Pelanggan Nasional, Manager PLN Turun Langsung Layani Pelanggan
Mengapa pula kita menerima 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional karena ada banyak sekali peristiwa yang sangat relevan sebagai peristiwa pendidikan seperti berdirinya sekolah untuk perempuan yang digagas Ruhana Kuddus atau Dewi Sartika.
Tentang Kongres yang diikuti 180 wartawan di Surakarta sebagaimana diberitakan di Harian Merdeka terbitan 12 Februari 1946, ada beberapa hal yang membuatnya istimewa dan patut menjadi tanggal Hari Pers Nasional.
Pertama-tama harus diingat bahwa pada saat itu Indonesia yang sudah diproklamirkan merdeka oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, kembali diduduki Belanda dengan membonceng tentara Sekutu yang mencopoti kekuasaan Jepang. Pemerintahan Republik Indonesia terpaksa berpindah ke Yogyakarta dan sebagian besar wilayah republik sudah dalam kekuasaan Belanda, termasuk Jakarta. Pergerakan orang-orang dibatasi, khususnya lagi mereka yang dicurigai, termasuk untuk pergi ke luar Jakarta untuk masuk ke wilayah yang dikuasai republik.