Headline Merdeka 12 Februari 1946 berjudul “Tjita—Tjita Indonesia Djangan Dihalangi Kekerasan Sendjata”—Kata Manuilsky, mengutip pidato utusan Ukraina di PBB, Dr Dmitri Manuilsky, yang meminta agar PBB mengirim komisi ke Indonesia. “Tidak ada orang bisa menyangkal bahwa tentera Inggris telah menyerang penduduk Indonesia di Djawa pada waktu beberapa bulan yang lampau dengan mempergunakan tank-tank, kapal terbang dan lain-lain alat militer.”
Terkait dengan keadaan Indonesia ada berita berjudul “Tegak Di Belakang Presiden” sebagai hasil Kongres Pejabatan Pos, Telegrap dan Telepon seluruh Jawa dan Madura yang diadakan di Madiun 10, 11, dan 12 Februari. Ada berita berjudul “Gerakan Republik Indonesia Soerakarta Menjatakan Kepertjajaan 100%” terhadap Pemerintah yang dijalankan oleh Kabinet Sjahrir, setelah organisasi yang memiliki 75.000 itu rapat pada 9 Februari.
Baca Juga:
Kalimantan Selatan Tuan Rumah, Ini Arti dan Makna Logo Resmi HPN 2025
Dalam suasana itulah kongres wartawan yang diadakan di Surakarta pada 9 dan 10 Februari. Mereka menunjukkan keberpihakan, karena yakin media punya peran besar untuk menunjukkan sikap rakyat Indonesia, termasuk ke pihak luar yang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Oleh karena itu ditegaskan sikap wartawan ialah “Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa serta selalu mengingat akan Persatuan Bangsa dan Kedaulatan Negara”. Sehingga seperti juga unsur bangsa lainnya yang tengah berjuang mempertahankan negaranya yang tengah dijajah lagi, wartawan peserta kongres menempatkan diri sebagai pejuang sekaligus. Dan menyadari bahwa besarnya politik adu domba Belanda, mengingatkan bahwa dalam bekerja mereka harus memikirkan persatuan dan kedaulatan negara.
Baca Juga:
PWI Kalsel Usulkan Ketahanan Pangan Jadi Isu Penting dalam Gelaran HPN 2025
Poin lain hasil kongres adalah kesadaran bahwa para wartawan Indonesia yang hadir sudah memikirkan masalah percetakan dan penerbitan koran, sebagai alat produksi dan juga alat perjuangan. Sebab hanya melalui media mereka bisa terus menggelorakan perjuangan dan memberi informasi kepada masyarakat di berbagai pelosok yang juga coba dikuasai oleh Belanda. Berdirinya PWI ini kemudian kita ketahui diikuti dengan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) setahun kemudian di Yogya.
Berbagai catatan di atas menunjukkan magnitude peristiwa 9 Februari 1946 sebagai modal untuk menetapkannya sebagai Hari Pers Nasional dibandingkan dengan peristiwa lainnya, sebab tanggal itu bukan sekadar hari lahir PWI tetapi bersatunya seluruh wartawan untuk menyokong Republik Indonesia berusia jabang bayi yang terancam keberadaannya, agar dapat bertahan kukuh berdiri sebagai negara kesatuan seperti yang kita saksikan saat ini.
***