Oleh EVA K SUNDARI
Baca Juga:
Bazzar Murah Ramadan, Masyarakat Tionghoa Peduli Gelontorkan 10.000 Paket Sembako
CERITA berlatar belakang Kota Bandung bagian selatan di saat menjelang akhir kekuasaan Belanda ini ditulis oleh Lian Gouw saat dia berusia 70 tahun sebagai perwujudan cita-cita masa kecil yang belum kesampaian akibat pergolakan politik.
Ia pindah ke Amerika tahun 1960 membawa rasa sakit karena ”terusir” dari Indonesia.
Baca Juga:
Bupati Rohil Lepas Pawai Lampion Malam Cap Go Meh 2575/2024 di Klenteng Ing Hok King
Rasa benci dendam kepada Indonesia berbalik menjadi militan cinta pada tahun 1990 saat dia berkunjung untuk diskusi buku Only a Girl yang diterjemahkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2010) dengan judul Menantang Phoenix, yang di tahun 2020 diterbitkan kembali oleh PT Kanisius dengan judul Mengadang Pusaran.
“Indonesia sudah berubah, tidak seperti tahun 1960 saat saya berangkat ke Amerika,” ujar Lian Gouw.
Rasa rindu pulang dan keinginannya membuat ikatan batin baru pada ”akar” lama Indonesia menggerakkannya mengambil kursus bahasa Indonesia dan mendirikan Dalang Publishing di California.
Perusahaan penerbitan ini diharapkannya bisa menjadi jembatan pengantar karya-karya sastra Indonesia ke Amerika dan dunia.
Widjati Hartiningtyas berhasil menerjemahkan buku ini secara sastrawi di bawah pengawasan ketat atas syarat yang diminta Lian Gouw, yaitu antikata serapan alias hanya menggunakan kata dari bahasa Indonesia baku.
Jadilah, buku yang awalnya diniatkan pengarang sebagai karya sastra ternyata juga diapresiasi para cerdik pandai sebagai karya sejarah, politik, hukum, bahkan budaya.
Sebagai feminis nasionalis, saya menyusuri novel setebal 440 halaman yang terbagi dalam 20 bab dengan rasa nyaman dan penasaran.
Pembentukan karakter tiga tokoh perempuan satu keluarga dalam tiga generasi ini tidak terkontaminasi patriarki.
Ketiganya digambarkan sebagai sosok berkepribadian kuat, cerdas, dan otonom dalam keunikan masing-masing.
Kesamaannya adalah ketiganya mengalami problem identitas khas orang Tionghoa kelas atas yang rentan menjadi korban atas perubahan kekuasaan, terutama di masa pancaroba politik.
Kelompok Tionghoa ini di garis marjin, tetapi tidak marjinal karena punya kekuatan ekonomi.
Tokoh pertama adalah Nanna, si nenek yang kokoh memegang tradisi Tionghoa di tengah rumah yang dihela secara Belanda oleh Chips, anak laki sulungnya.
Sosok kedua adalah Caroline (Ong Kway Lien), anak keempat Nanna yang dididik secara Belanda dan memilih dikucilkan keluarga karena memilih jodoh sendiri, Po Han, dari keluarga pekerja biasa.
Ia melepas karier sepanjang 10 tahun saat menikah, tetapi kemudian menggugat cerai karena alasan keterbatasan ekonomi.
Tokoh ketiga adalah Jenny, anak Caroline, yang berkembang sebagai perempuan cerdas dan berdaulat atas tubuh dan pikirannya.
Jenny menolak dikte ibunya untuk menjadi pengacara dan sekolah di Belanda.
Dia juga menolak lamaran pacarnya yang kaya raya dan sudah mengambil keperawanannya.
Ia kukuh memilih belajar ke Amerika untuk mewujudkan mimpinya menjadi dokter hewan.
Baik Caroline maupun Jenny mendapatkan ”kemerdekaan” pribadi dari hukum Belanda yang berlaku khusus untuk kelas elite.
Caroline bebas perwalian untuk menikah saat usia 31 tahun dan Jenny bebas perwalian untuk mengambil beasiswa saat usia 21 tahun.
Pada masa yang sama, Belanda membiarkan para gadis pribumi menderita kawin paksa di usia anak-anak (batas minimal 16 tahun, masih diadopsi UU Perkawinan 1974 hingga direvisi DPR tahun 2019 menjadi 18 tahun).
Orang Belanda memberi panggilan nama Barat kepada Caroline dan Jenny agar memudahkan orang Belanda memanggil mereka.
Jenny baru menyadari nama dia yang sesungguhnya (Siu Yin) saat mengurus beasiswa pada usia 21 tahun.
Sebagai kelompok yang diistimewakan Belanda, keluarga Chips (anak laki tertua Nanna) terseret politik di zaman pendudukan Jepang akibat pembelaan mereka kepada orang-orang Belanda.
Posisi demikian bertahan hingga masa kemerdekaan sehingga demi keamanan, dua keluarga Nanna yang menikah dengan orang Belanda pindah ke Belanda dan Jenny dilepas ke Amerika.
Karena penulisnya perempuan, novel ini menyumbang banyak informasi dan data tentang isu-isu perempuan, misalnya seksualitas, relasi jender dalam keluarga, diskriminasi dan subordinasi, politik dari perspektif perempuan di masa itu sehingga bisa menjadi bahan riset studi feminisme.
Saya lega atas penokohan para perempuan yang realistis seperti fakta sehari-hari perempuan di banyak masa, yaitu rasional dan berdaya.
Mereka bukan seperti di fantasi laki-laki, yaitu makhluk cantik dan tolol, sebagaimana yang digambarkan di sinetron-sinetron kita saat ini.
Semoga semakin banyak penulis perempuan feminis yang berkarya sastra karena hampir dipastikan isinya akan mencerdaskan dan memberdayakan kita, para pembaca laki dan perempuan.
Ada catatan kecil untuk penyajian, bab-bab dalam novel tidak diberi anak judul sehingga menyulitkan pembaca untuk merekonstruksi ulang setelah membaca.
Harusnya bab-bab bisa menjadi penggalan layaknya babak-babak dalam satu cerita besar.
Kedua, soal tiadanya kepahlawanan dari tokoh-tokoh perempuan cerdas ini di masa revolusi.
Ibaratnya, mereka sibuk urusan internal keluarga di dalam sebuah rumah yang kedap suara.
Atau memang demikian realitas keluarga kaya Tionghoa di zaman dulu?
Judul buku: Mengadang Pusaran. Penulis: Lian Gouw. Penerjemah: Widjati Hartiningtyas. Penerbit: PT Kanisius, Yogyakarta. Cetakan: Tahun 2020. Jumlah halaman: 440 hlm. ISBN: 978-979-21-6697.
(Eva K Sundari, Direktur Institut Satinah dan Anggota Perlima - Perempuan Penulis Padma)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul “Rumah Kedap Suara Keluarga Tionghoa”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/19/rumah-kedap-suara-keluarga-tionghoa/.