PEMBAHASAN Ranperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta, memasuki babak akhir. Saat ini Ranperda KTR tersebut sedang dilakukan harmonisasi oleh Kemendagri, dan akan segera dikembalikan ke DPRD DKI Jakarta.
Menurut informasi, Ranperda KTR akan diketok palu pada 19 Desember 2025, dalam sidang Paripurna DPRD DKI Jakarta. Terdapat informasi yang berkembang bahwa sidang paripurna DPRD DKI Jakarta akan menolak pengesahan Ranperda KTR tersebut. Artinya Ranperda KTR akan gagal lagi menjadi Perda KTR.
Baca Juga:
Polisi Jerat Dirut Terra Drone dengan Pasal Berlapis, Ancaman Seumur Hidup
Fenomena penolakan itu ditengarai makin menguat, manakala Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung justru berbalik arah karena tidak mendukung Ranperda KTR dan meminta Ranperda tersebut dibatalkan saja.
Ini jelas fenomena yang sangat anomali, sebab sebelumnya Gubernur DKI Jakarta justru memberikan dukungan kuat terhadap pembahasan Ranperda KTR tersebut.
Patut diduga dengan kuat, sikap balik arah Gubernur Pramono oleh karena adanya intervensi yang dilakukan oleh industri rokok, melalui parpol pengusung Gubernur Pramono.
Baca Juga:
Era Syafrin Liputo 6,5 Tahun, Kemacetan Jakarta Makin Parah
Jika sampai sidang paripurna DPRD DKI Jakarta menolak pengesahan Ranperda KTR, maka hal ini merupakan tindakan yang sangat memalukan, dan bahkan memuakkan. Alasannya:
Pertama, penolakan Ranperda KTR merupakan pengingkaran nyata terhadap kuatnya dukungan publik/warga Jakarta, yang lebih dari 90 persen memberikan dukungan terhadap pembahasan dan pengesahahan Ranperda KTR.
Survei tersebut dilakukan oleh IYCTC, Koalisi Smoke Free Jakarta, dan kelompok masyarakat sipil lainnya.
Kedua, penolakan Ranperda KTR menjadi tengara kuat bahwa Gubernur Pramono dan DPRD DKI Jakarta telah berkongsi dengan industri rokok, dan menggadaikan kepentingan masyarakat dan warga Jakarta.
Kesehatan warga Jakarta dibarter dengan kepentingan industri adiksi.
Ketiga, penolakan Ranperda menjadi paradoks yang sangat serius, sebab DKI Jakarta telah gagal menyusun suatu Ranperda selama 14 tahun lamanya, dan menjadi tahun ke-15 jika Ranperda ditolak kembali.
Padahal untuk menyusun dan membuat suatu perda hanya perlu waktu 3-6 bulan saja.
Ini artinya Pemprov. dan DPRD DKI Jakarta telah melanggar standar baku dan tata cara pembuatan peraturan perundangundangan yang baik.
Telah pula DPRD DKI telah menghamburkan anggaran untuk membuat pansus Ranperda KTR yang selalu berulang setiap tahunnya.
Keempat, penolakan Ranperda KTR juga sangat memalukan pada skala nasional, sebab saat ini lebih dari 90 persen Pemkab/Pemkot di Indonesia yang telah memiliki regulasi KTR, dan 62 persen diantara berupa Perda KTR. Apalagi jejak historis Pemprov.
DKI Jakarta sejatinya adalah pelopor dalam mengusung isu dan regulasi KTR di Indonesia, sejak 2010.
Kelima, selevel Pemprov DKI Jakarta yang telah menjadi kota global, maka standar regulasi dan kebijakannya seharusnya mengacu pada standar global, yang telah lazim menerapkan dan mewujudkan KTR di kota kota global tersebut.
Oleh sebab itu, tak ada opsi lain bagi DPRD DKI Jakarta untuk segera mengesahkan Ranperda KTR menjadi Perda KTR. Dan Ranperda tersebut harus secara utuh mengadaptasi substansi PP 28/2024 tentang Kesehatan, yang telah berlaku sebagai hukum positif di Indonesia.
Sedikitlah punya rasa malu dan pertanggungjawaban pada publik, bahwa anggota DPRD dipilih oleh warga Jakarta sehingga kepentingannya merepresentasikan kepentingan warga Jakarta; bukan merepresentasi kepentingan oligarki industri rokok. [*]
Penulis adalah Pegiat Perlindungan Konsumen, Ketua FKBI (Forum Konsumen Berdaya Indonesia)