Selama 35 tahun sebagai birokrasi Pemerintahan, 15 tahun terakhir kami bekerja tidak terlepas urusan bencana, kemiskinan, dan konflik sosial, baik di Departemen Sosial, dan Menko Kesra/PMK.
Kami punya pengalaman turut menyusun UU Tentang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007. Semangat Pemerintah dan DPR waktu itu untuk menyusun RUU karena punya pengalaman pahit menghadapi bencana alam Tsunami di Aceh 26 Desember 2004, dan gempa bumi Bantul dan Klaten yang terjadi 27 Mei 2006.
Baca Juga:
Korban Banjir dan Longsor di Sumatra Nyaris 1.000 Jiwa, Ratusan Masih Hilang
Kedua bencana alam itu dahsyat sekali. Sehingga diperlukan regulasi dalam bentuk UU yang mengatur tentang terjadinya bencana dan bagaimana cara menanganinya.
Lahirnya UU itu untuk dilaksanakan. Bukan dipandang saja sebagai aksesoris, diperlukan sekadarnya. Akibatnya juga penanganannya tidak kuat payung hukumnya. Setiap sektor yang dilibatkan tidak maksimal bertindak,karena takut disalahkan belakang hari. Hanya pejabat yang bernyali tinggi, dan mengontrol dan melakukan pengawasan dengan ketat yang berani melakukan. Itu tidak banyak. Hampir semua ayam sayur.
Akibatnya Presiden Prabowo turun tangan melalui Satgas PKH Jenderal TNI Purnawirawan Sjafrie Sjamsuddin menggerakkan TNI melalui Panglima TNI dan 3 Kepala Staf AD, AU, dan AL.
Baca Juga:
BNPB Ingatkan Kewaspadaan Nasional: Dua Bibit Siklon Berpotensi Picu Cuaca Ekstrem
Seharusnya, sesuai UU Tentang Penanggulangan Bencana (PB), soal penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab BNPB. Untuk menunjukkan bobot tugas yang berat, maka kebijakan pemerintah sekarang Kepala BNPB seorang jenderal aktif bintang tiga. UU juga memerintahkan Kepala BNPB untuk mendapatkan instruksi langsung dari Presiden.
Kepala BNPB dapat membuat kajian cepat dengan melibatkan para ahli. Jangan lupa dalam struktur organisasi BNPB itu ada diangkat dengan Kepres beberapa orang ahli. Mereka itulah dapat pemikir Kepala BNPB.
Soal status kebencanaan itu apakah level Nasional, Provinsi maupun Kab/Kota sudah ditetapkan kriterianya dan diuraikan lebih lengkap dengan PP dan juga Pedoman yang diterbitkan Kepala BNPB. Berikut adalah beberapa peraturan penting mengenai kebencanaan:
UU No. 24 Tahun 2007: Landasan utama penanggulangan bencana di Indonesia, mengatur secara komprehensif mulai dari definisi, tahapan (pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan), hingga kelembagaan.
PP No. 21 Tahun 2008: Mengatur detail penyelenggaraan penanggulangan bencana, termasuk definisi mitigasi bencana sebagai upaya mengurangi risiko bencana. PP No. 22 Tahun 2008: Mengatur mengenai pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana. PP No. 22 Tahun 2017: Mengatur khusus tentang operasi pencarian dan pertolongan (SAR) saat terjadi bencana. Perpres No. 17 Tahun 2018: Mengatur penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam kondisi khusus atau keadaan tertentu. Dan secara teknis Kepala BNPB sudah menerbitkan Pedoaman Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana Tahun 2016.
Makna UU PB itu, dan regulasi dibawahnya, untuk status Bencana Nasional harus ada surat Pernyataan dari Gubernur yang terdampak bencana, disampaikan kepada Presiden.
Dengan mengacu Surat Pernyataan itu, BNPB dengan Kementerian terkait mengadakan rapat dalam waktu 1x24 jam untuk melakukan kajian cepat situasi.
Hasil kajian cepat dibawa dalam rapat koordinasi nasional, untuk menghasilkan rekomendasi tindak lanjut. Jika Presiden setuju rekomendasi untuk penetapan status Bencana Nasional, maka ditetapkanlah dengan Keputusan Presiden dan dalam pelaksanaannya dibawah kendali dan koordinasi BNPB.
Jika Presiden tidak berkenan, Kepala BNPB harus menyampaikannya kepada Gubernur terdampak. Dan menegaskan bahwa pemerintah pusat berkomitmen untuk melakukan pendampingan dan supporting penanganannya.
Kami tidak paham prosesnya bagaimana yang terjadi saat ini. Kalau melihat proses penanganannya, pengendali dilapangan bukanlah BNPB tetapi Panglima TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan sesuai dengan instruksi langsung Presiden.
Apakah langkah ini lebih cepat, efektif, terkendali, dan jauh terjadinya korupsi jika birokrasi yang menangani tentu akan kita lihat hasil penyelesaiannya. Tetapi jangan lupa TNI itu bukanlah superman. Tentu ada keterbatasan. Keterbatasan dana, peralatan, dan hal-hal yang bersifat teknis sector, seperti listrik, komunikasi , dan lainnya.
Kehadiran TNI itu tentu dalam fase darurat sangat diperlukan sebagai motor dan penggerak kelompok masyarakat untuk berpartisipasi. Mereka akan kembali ke pasukannya karena penugasan lain yang juga menanti.
Oleh karena itu kehadiran sekor dalam hal ini Kementerian menjadi penting. Terutama pada fase Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian PU, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, mereka tidak boleh tidur dan fase rekon.
Kementerian itu harus melanjutkan untuk mengembalikan kehidupan yang normal. Terkait deforestasi tuntaskan mereka yang jadi hantu deforestasi. Pemukiman baru bangun yang aman dan jauh dari potensi terjadinya lagi banjir dan longsor.
Gerak gerik Kementerian Kehutanan dan Lingkungan hidup harus diawasi masyarakat. Gubernur dan Menteri yang pat gulipat dengan oligarki hantu deforestasi laporkan ke KPK, Kejaksaan dan Satgas PKH. Buat mereka deforester itu kejang-kejang, dan mendapatkan penyakit kutukan Allah, seperti penyakit kulit yang mengerikan.
Alokasi dana 51 Triliun perlu dipantau sejauh mana realisasinya. BNPB harus membuka informasi luas yang terus menerus. Terutama terkait dana dan bantuan yang diterima. Masyarakat berhak mendapatkan informasi terkait penggunaannya, dan sejauh mana penetrasi Pemerintah memberikan sanksi para deforestasi yang tidak memberikan kontribusi biaya penanggulangan bencana. Kontribusi itu adalah sanksi bukan CSR. Mari kita ikuti perkembangannya
Cibubur, 13 Desember 2025
*) Pemerhati Kebijakan Sosial/Dosen FISIP UNAS.