KISRUH urusan lahan antara Ketua Umum MPN Pemuda Pancaila (PP) Japto Soerjosoemarno dengan keluarga politikus Wanda Hamidah semakin berkepanjangan. Perseteruan tersebut berujung Paman Wanda Hamidah dipolisikan, dan Wanda Hamidah dilaporkan atas aksi pencemaran nama baik.
Kasus ini berawal dari eksekusi pengosongan lahan yang ditempati Wanda Hamidah pertengahan Oktober2022 lalu, lantaran pemilk sertifikat HGB tanah bersangkutan, yakni Japto Soerjosoemarno, akan menggunakannya.
Baca Juga:
6 Kontroversi Kasus Wanda Hamidah, Pernah Dipolisikan Eks Suami
Namun keluarga Wanda bersikukuh tak mau angkat kaki. Wanda pun mati-matian membela keluarganya dan berupaya mengiring opini publik bahwa mereka merupakan korban kezaliman serta penindasan.
Melalui Instagramnya Wanda bahkan menuding pengalihan status lahan ke Japto merupakan ulah mafia tanah.
Tak sampai di situ, Wanda juga terus ngamuk dan menuding BPN telah menerbitkan 2 HGB di satu lokasi tanah, dan merasa Pemkot Jakarta Pusat dan Japto merebut hak atas tanah yang telah dikuasai keluarganya secara turun temurun sejak 1962.
Baca Juga:
Wanda Permasalahkan Kepemilikan Tanah, Kuasa Hukum Japto: Kenapa Baru Sekarang?
Padahal, Wanda sama sekali tak memiliki legal standing atas kasus ini. Apapun yang disuarakannya tak berpengaruh apapun secara hukum.
Satu-satunya alasan orang mau memberikan perhatian hanya lantaran Wanda seorang figur publik. Tapi itu pun bisa jadi kerugian besar bagi Wanda jika kemudian terbukti bahwa posisi keluarganya dalam kasus ini secara hukum terbukti salah.
Faktanya, keluarga Wanda hanya memiliki Surat Izin Penghunian (SIP) atas nama kakek Wanda, Idrus Abubakar. Setelah Idrus Abubakar meninggal pada Mei 2012, kepemilikan SIP tersebut secara hukum telah berakhir, karena tidak diperpanjang lagi.
Selanjutnya rumah di atas lahan tersebut ditinggali paman Wanda, Hamid Husein.
Japto kemudian membeli dan mengajukan permohonan sertifikat HGB atas tanah tersebut, sehingga terbitlah SHGB 1.000/Cikini dan SHGB 1.001/Cikini.
Sebagai aset yang dikuasai negara, ketika status hukumnya sedang free, tentu saja setiap orang bisa mengajukan kepemilikan HGB, dan ia bisa meminta lahan tersebut pada yang menduduki kapan saja, ketika tanah yang bersangkutan hendak digunakan.
Hal yang menarik dalam kasus ini adalah ‘perjuangan’ mati-matian seorang Wanda Hamidah yang tetap ingin bertahan di atas lahan yang bukan haknya, hanya dengan alasan sudah tinggal di sana secara turun temurun sejak tahun 1962.
Tentu, tinggal secara turun temurun hingga puluhan tahun saja tak cukup untuk memiliki sebidang tanah secara sah. Dibutuhkan proses hukum untuk mendapatkan alas hak atas tanah.
Keluarga Wanda yang tidak memperpanjang SIP sejak tahun 2012 saja sudah patut dipertanyakan, dan bisa jadi indikator tingkat ketaatan hukum keluarga ini.
Kepemilikan tanah juga tak cukup dibuktikan dengan struk bukti pembayaran PBB, dan menguasai lahan bukan berarti memiliki.
Akan sangat menguras energi bagi keluarga Wanda jika terus ‘berjuang’ tanpa berbekal alas hukum yang sah. Apalagi tanpa didukung kedudukan hukum yang kukuh. Ibarat pasukan perang yang bertempur tanpa perbekalan amunisi.
Ah, sudahlah Wanda…