Oleh MUHAMAD HANAN RAHMADI
Baca Juga:
Namanya Disebut di Film Dirty Vote, Ini Respons Bobby Nasution
KONDISI birokrasi masih kesulitan untuk mengikuti langkah milenial yang kian hari melaju kencang sebab birokrasi masih muncul dengan rumit di meja-meja terpisah oleh fungsi.
Citra akan alur panjang, lamanya waktu, dan kelambanan masih melekat pada birokrasi di instansi pemerintah.
Baca Juga:
PWRI Kota Padang Kunjungi Wakil Wali Kota Ekos Albar
Apa yang sering kita sebut sebagai reformasi birokrasi harus terus disuarakan dan implementasikan secara cepat dan masif pada jajaran birokrasi di pusat dan daerah.
Pembahasan itu bisa dimulai, salah satunya lewat apa yang disuarakan Schwab (2015) bahwa I can't imagine a topic more important than the relationship between government and innovation.
Hadirnya inovasi pada jajaran birokrasi lebih banyak disebabkan bagaimana cara pemerintah memperlakukan teknologi, semisal teknologi digital.
Hubungan antara teknologi, inovasi, dan sektor publik jadi keniscayaan.
Sayangnya, inovasi itu secara tidak sengaja tidak diperbolehkan ada oleh pola pikir dan sejumlah aturan dalam birokrasi itu, seperti aparaturnya yang tidak menjadikan internet sebagai suatu kebutuhan sehari-hari.
Minimnya inovasi pun karena aparatur yang keliru mengartikan semangat kewirausahaan (entrepreneurship spirit) dalam sektor publik.
Pola pikir bahwa tugas aparatur bukan mencari keuntungan seperti pada sektor privat memang benar.
Namun, semangat kewirausahaan dimaksudkan supaya, misalnya, menurut Osborne dan Gaebler (2003) dalam bukunya Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, hadirnya inovasi dalam memberikan pelayanan dengan kualitas prima.
Perlunya persaingan dalam pemberian pelayanan.
Setidaknya masyarakat berhenti mengeluh saat mengurusi segala hal yang cuma bisa diberi pemerintah; perizinan dan nonperizinan.
Sulit rasanya bagi pemerintah untuk bisa dengan prima melayani bila aparaturnya masih memiliki pola pikir yang bukan tak ramah, tetapi memunggungi internet karena tak mengerti manfaat internet.
Tak mengerti itu bukan pula sebab tak mau, tapi tak mampu karena sebagian dari mereka lahir dan tumbuh di zaman yang belum mengenal internet.
Jadi, ada kecanggungan kolektif dari aparatur birokrasi pada teknologi digital.
Dengan meningkatnya jumlah milenial (generasi Y) yang masuk dunia kerja dengan keistimewaan yang cenderung berbeda dengan generasi sebelumnya, menjadi salah satu tantangan baru bagi dunia kerja.
Milenial sering disebut sebagai generasi yang menyukai kebebasan dan fleksibilitas seperti kebebasan bekerja, belajar, dan berbisnis.
Generasi milenial yang juga punya nama lain generasi Y ialah kelompok manusia yang lahir di atas 1980-an hingga 1997.
Mereka disebut milenial karena generasi yang melewati milenium kedua sejak teori generasi ini diembuskan Karl Mannheim pada 1923.
Gaya Kepemimpinan
Tahun 2020 hingga 2030 diprediksi Indonesia mencapai puncak populasi usia produktif sebesar 70% dari total penduduk Indonesia (Sebastian, Amran dan Youth Lab, 2016).
Ini bisa jadi keuntungan bagi perekonomian dan kemajuan Indonesia jika generasi milenial sebagai generasi dengan jumlah besar dapat dikelola baik.
Terlebih mereka memiliki leadership yang baik sehingga mampu mengelola individu mereka ataupun organisasi.
Era 4.0 ketika segala sesuatu berdasarkan internet (internet of thing/IoT) serta cloud system jadi makanan sehari-hari bagi generasi milenial di birokrasi.
Pada praktiknya, salah satu penopang utama lahirnya pemerintahan berkelas dunia ada pada penerapan e-government.
Jika penerapan e-government baik, pergeseran dari era 3.0 ke 4.0 akan lebih mudah terjadi.
Namun, bila kita lihat data PBB saat melansir peringkat EGDI (E-Government Development Index) berdasarkan survei 2016, Indonesia ada di peringkat ke-116 EGDI.
Peringkat itu turun 10 tingkat jika dibandingkan dengan 2014, yakni ke-106.
Kondisi ini masih jauh di bawah Malaysia (peringkat ke-60) dan Filipina (71).
Artinya, sektor publik di Indonesia harus bekerja keras membangun sistem e-government.
Masih belum banyaknya ASN yang kompeten di bidang teknologi dan informatika harus jadi catatan bagi pengambil kebijakan di pusat dan daerah.
Karenanya, pemerintah pusat dan daerah harus berupaya agar ASN yang berusia di bawah 40 tahun diberikan kepercayaan memimpin organisasi birokrasi di lingkungan pemerintahan.
Dengan ditempatkannya generasi Y pada jabatan strategis, akan mampu mengimbangi tantangan reformasi birokrasi, yang kini layanan publiknya dituntut berbasis e-government.
Saat dunia sudah kian terkoneksi secara daring, organisasi sektor publik harus mengambil langkah strategis.
Adanya generasi milenial di birokrasi bisa jadi peluang memperbaiki birokrasi agar kompatibel dengan kondisi kini.
Generasi milenial ialah generasi yang memiliki kepercayaan diri tinggi, fokus pada prestasi, optimistis, dan lebih suka bekerja sama dalam tim.
Intensitas tinggi dengan teknologi dan memiliki wawasan serta jaringan berskala global menjadi nilai tambah yang harus dioptimalkan pengambil kebijakan pada sektor publik.
Untuk mendukung pemanfaatan kapabilitas generasi milenial di pemerintahan, dibutuhkan peran pemimpin dalam mengatur sumber daya aparaturnya agar roda organisasi birokrasi berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Gaya kepemimpinan yang dikenal masyarakat antara lain gaya karismatis yang memicu pengikutnya dengan memperlihatkan kemampuan heroik atau luar biasa (Robbins, 2006).
Menurut Robbins, gaya kepemimpinan yang juga populer ialah visioner, yakni gaya kepemimpinan yang mampu mengartikulasikan visi realistis, kredibel, dan menarik mengenai masa depan organisasi yang tengah tumbuh dan membaik daripada saat ini.
Gaya kepemimpinan visioner sangatlah diperlukan di pemerintahan bila birokrasi ingin menciptakan perubahan lebih optimal.
Gaya kepemimpinan visioner sangat cocok disematkan kepada generasi Y karena sifatnya idealis, semangat menggebu dalam bekerja, dan mampu menyesuaikan diri dalam berbagai situasi dan kondisi.
Guna menghadapi kondisi ini, pemerintah seyogianya menyiapkan strategi diri menghadapi era 4.0, dengan memperbaiki manajemen aparatur sipil negara (ASN) melalui 6P, yaitu perencanaan, penerimaan ASN, pengembangan kompetensi, penilaian kinerja, promosi dan rotasi, serta purnabakti.
Untuk generasi milenial yang sudah di birokrasi, tentu memerlukan ruang mengaktualisasi diri.
Karenanya, dukungan sistem penilaian kinerja yang adil, sistem karier yang jelas, serta pola pengembangan kompetensi yang terstandar akan jadi pengungkit optimalnya kinerja ASN, khususnya generasi milenial.
Jika persiapan menuju birokrasi kelas dunia 2025 telah dilakukan, sudah semestinya generasi milenial yang kini ada di birokrasi mulai bergerak menyambutnya. (Muhamad Hanan Rahmadi, Analisis Kebijakan Ahli Madya pada Staf Ahli Bidang Administrasi Negara Kemenpan dan Rebiro)-dhn
Artikel ini sudah tayang di mediaindonesia.com dengan judul “Tantangan Birokrat Milenial Berkelas Dunia 2025”. Klik untuk baca: https://mediaindonesia.com/opini/431891/tantangan-birokrat-milenial-berkelas-dunia-2025.