Oleh WEMPI SAPUTRA
Baca Juga:
Jadi Showcase Transisi Energi RI, PLN Hadirkan 70 Unit SPKLU Ultra Fast Charging Saat KTT G20
SEBUAH krisis global juga membutuhkan sebuah solusi global (A global crisis requires a global solution).
Pernyataan para pemimpin G-20 pada Konferensi Tingkat Tinggi G-20 tahun 2009 di London itu tetap relevan hingga saat ini.
Baca Juga:
Sambut KTT G20, PLN Perkuat Infrastruktur Jaringan Listrik Paiton-Bali
Baru saja pada 31 Oktober 2021, perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di La Nuvola, Roma, Italia, usai.
Para pemimpin mendeklarasikan konsensus sejumlah 61 paragraf yang terbagi dalam 27 isu, mulai dari dinamika ekonomi global dan faktor penentu pemulihan ekonomi, kesehatan, pendidikan, pembangunan dan keuangan berkelanjutan, infrastruktur, energi dan perubahan iklim, ketahanan pangan dan nutrisi, inklusi finansial, pemberdayaan perempuan, transportasi, pariwisata, antikorupsi, data gaps, hingga perlindungan sosial.
Apa saja agenda penting dan signifikansi bagi presidensi Indonesia?
Isu Utama Global
KTT G-20 Roma mengingatkan minimal ada tiga isu utama global yang harus diwaspadai.
Pertama, akses dan kecepatan vaksinasi.
Tingkat vaksinasi di negara-negara maju dan sebagian negara berkembang sudah tinggi, berkisar 60-80 persen (negara maju) dan 25-40 persen (negara berkembang).
Namun, di negara-negara miskin, khususnya di Afrika, tingkat vaksinasi masih di bawah 10 persen, bahkan ada yang baru 3-5 persen.
Fakta ini menunjukkan bahwa risiko penularan Covid-19 tetap tinggi dan akan berpengaruh ke semua negara.
Karena vaksinasi diyakini merupakan faktor penentu pemulihan ekonomi, negara-negara G-20 mendorong untuk percepatan vaksinasi ini.
Diharapkan proses vaksinasi dapat menjangkau 40 persen dari semua penduduk dunia akhir tahun 2021 dan mencapai 70 persen pada pertengahan tahun 2022.
Upaya yang penuh tantangan ini mensyaratkan komitmen kerja sama global yang kuat.
Kedua, tantangan terkait inflasi dan gangguan rantai pasok global.
Fakta ini terjadi di negara-negara yang pemulihan ekonominya cepat, yang mengakibatkan peningkatan permintaan terhadap berbagai produk, tetapi kapasitas produksi belum memadai karena pandemi menginterupsi proses produksi.
Kenaikan harga komoditas, terutama energi, mengharuskan negara-negara mengalkulasi ulang dampaknya terhadap anggaran negara dan pengaruh lanjutannya terhadap kapasitas belanja untuk kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi.
Ketiga, tantangan teknologi digital dan perubahan iklim.
Teknologi digital akan mendorong percepatan transformasi digital yang berfokus kepada produksi, proses, jasa, dan model bisnis.
Transformasi digital menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi digital.
Ekonomi digital diyakini merupakan salah satu pemicu utama pertumbuhan berbagai sektor dan mendorong pemulihan ekonomi.
Namun, masih muncul perdebatan di sini, antara lain terkait keamanan, privasi, hak atas kekayaan intelektual, dan perlindungan data.
Di sisi lain, perubahan iklim merupakan megatrend issue yang menjadi perhatian utama pada pertemuan Konferensi Para Pihak (COP) Ke-26 dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Glasgow, Skotlandia, sebagai rantai pesan lanjutan para pemimpin dunia di KTT Roma.
Target global untuk menurunkan emisi menjadi perdebatan panjang, khususnya terkait kapasitas negara-negara, komitmen pendanaan negara-negara maju, dan prioritas domestik setiap negara.
Tantangan Implementasi Konsensus
Paling tidak ada tiga tantangan dalam penerapan konsensus G-20.
Pertama, belum optimalnya kepemimpinan global yang menjadi orkestrator utama dalam melaksanakan semua komitmen kerja sama internasional yang sudah disepakati, khususnya dalam mengatasi krisis kesehatan dan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Pelaksanaan komitmen cenderung dipengaruhi arus geopolitik global dan komitmen negara-negara maju.
Penanganan masalah kesehatan di negara-negara maju sangat berbeda dengan yang dilaksanakan di negara-negara berpendapatan rendah (low-income countries/LICs) dan negara berkembang yang memiliki banyak keterbatasan.
Kerja sama global sangat mendesak untuk mencegah peningkatan kematian di banyak negara akibat penyebaran varian baru Covid-19 dan memitigasi pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang.
Kedua, perlunya penyelarasan antara komitmen dalam forum internasional dan koordinasi kebijakan domestik.
Terdapat potensi perbedaan fokus, strategi, dan hasil yang diharapkan dari kementerian dan lembaga terkait di dalam negeri, unit organisasi yang menjadi koordinator, dan bagaimana narasi kebijakan dan rencana implementasinya.
Dalam konteks Indonesia, komitmen internasional penting untuk diselaraskan dengan reformasi struktural yang sedang berjalan.
Ketiga, tantangan terkait dengan isu transformasi digital dan perubahan iklim.
Bagaimana memanfaatkan transformasi digital untuk mendorong produktivitas dan mendistribusikan manfaatnya secara inklusif untuk membantu pemulihan ekonomi serta bagaimana mengawal proses transisi digital.
Menu Opsi Kebijakan G-20 tentang Transformasi Digital dan Pemulihan Produktivitas telah memberikan panduan penyusunan fokus kebijakan.
Di sisi lain, dipandang perlu untuk menguatkan narasi di level global dalam isu perubahan iklim agar transisi ke ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon di LICs dan negara berkembang dapat berlangsung secara adil dan terjangkau.
Adil artinya mempertimbangkan perbedaan kemajuan pembangunan (stage of development) antara negara maju dengan LICs dan negara berkembang, isu terkait legal (penyelesaian kontrak di bidang energi, misalnya coal phasing out), potensi aset yang tidak termanfaatkan, dan kapasitas pendanaan.
Isu keterjangkauan erat kaitannya dengan kemampuan/daya beli masyarakat dan jangan sampai masyarakat kehilangan pekerjaan yang dapat berdampak pada masalah sosial dan stabilitas nasional.
Mendorong Kepemimpinan Global
Kepemimpinan global dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mendorong pemulihan ekonomi sangat penting dan mendesak meski sangat dinamis dalam konstelasi geopolitik.
Indonesia perlu selalu aktif dalam menyuarakan urgensi gerakan bersama secara global untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan mendorong pemulihan ekonomi.
Indonesia harus mampu mengoptimalkan tiga kredensial yang dimiliki, yaitu sebagai presidensi G-20 tahun 2022, keketuaan ASEAN tahun 2023, dan peran menteri keuangan dalam Coalition of Finance Ministers for Climate Action.
Peran minimal presidensi Indonesia dalam G-20 adalah kemampuan mengelola agenda pembahasan (agenda setting) dan unjuk diri (showcasing) atas keberhasilan pembangunan yang sudah ada.
Indonesia dapat terus menyuarakan pentingnya aksi global memulihkan ekonomi dan menjadi penyeimbang suara dari negara-negara berkembang.
Agenda utama dalam presidensi G-20 tahun 2022, baik dalam finance track (isu ekonomi dan keuangan) maupun sherpa track (meliputi isu yang lebih luas di luar ekonomi dan keuangan: energi, pembangunan, ekonomi digital, pendidikan, tenaga kerja, perubahan iklim, dan lain-lain), dapat diselaraskan dengan kerja sama multilateral lainnya.
Tema presidensi G-20 tahun 2022 ialah ”recover together, recover stronger” sangat relevan dengan prioritas kerja sama internasional yang tengah berjalan.
Peran Indonesia sebagai keketuaan ASEAN pada 2023 merupakan koordinator regional, selain untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan kawasan, juga koordinasi untuk penanganan krisis kesehatan, pemulihan ekonomi, dan mendorong reformasi struktural untuk pembangunan berkelanjutan.
Peran menteri keuangan dalam Coalition of Finance Ministers for Climate Action merupakan peluang penting untuk memimpin diskusi, berbagi pengalaman, dan menangkap peluang dana perubahan iklim untuk investasi, khususnya bagi negara berkembang.
Fokus lainnya adalah bagaimana menangkap peluang investasi global.
Selain itu, kerja sama bilateral dengan lembaga keuangan internasional (LKI) juga perlu terus dilakukan. Komunikasi yang baik dengan LKI (Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Bank Pembangunan Islam, dan Bank Investasi Infrastruktur Asia) maupun mitra bilateral selama 2020 telah memberikan manfaat optimal dengan diterimanya dukungan pembiayaan penanganan pandemi Covid-19 dalam bentuk fast track program senilai 4,5 miliar dollar AS.
Koordinasi dan hubungan baik ini juga dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan posisi Indonesia dalam penanganan pandemi Covid-19, berbagi pengalaman dan lesson learned dengan negara-negara lain untuk memperoleh bantuan teknis dalam hal peningkatan kapasitas (capacity building) dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing).
Kesepakatan dalam KTT G-20 akhir Oktober 2021 akan dilanjutkan dalam presidensi G-20 Indonesia.
Perhelatan pertama pertemuan deputi G-20 di Bali bulan Desember tahun ini akan menjadi batu ukur awal bagaimana Indonesia mengelola dan mengoptimalkan aksi multilateral ini untuk menyuarakan, mengambil manfaat, dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Indonesia yang sudah teruji mampu melewati berbagai tantangan krisis kini diuji untuk semakin berkiprah di kancah global.
Hanya sinergi dan kolaborasi yang memampukan harapan ini terwujud demi kebaikan bersama. (Wempi Saputra, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional; G-20 Finance Deputy)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Tantangan dan Peluang Pasca-KTT G-20 Roma”. Klik untuk baca: Tantangan dan Peluang Pasca-KTT G-20 Roma - Kompas.id.